Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malam Ini Ada Cinta

29 Oktober 2022   13:17 Diperbarui: 29 Oktober 2022   13:24 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulan merah jambu/ilustrasi cerpen malam ini ada cinta (Foto: By litemon Via Pixabay)

"Halah, ulahmu sendiri itu, contohlah suamiku. Biar kerjanya serabutan, tak pernah dia mabuk-mabukan apalagi berjudi!" Margaretha meletakkan dua kardus ke tempat Beni tertidur barusan. 

"Halah, Kak Margaretha. Kau tak tahu saja, suamimu yang mengajariku berjudi. Bila kau lembur pulang pagi. Dia berjudi juga sampai pagi!" Ucap Beni dalam hati. 

Beni sebenarnya menyimpan iba pada Margaretha. Karyawati teladan itu sudah banyak dibohongi suaminya. Dia sudah capek-capek bekerja, suaminya malah enak-enakan membuang hasil keringat istrinya di meja judi. 

Entah apa yang membuat Margaretha begitu percaya pada Baron suaminya. Padahal pekerjaannya tak jelas. Kadang menjadi calo tanah, kadang tukang parkir, dan kadang, cuma diam saja di rumah mengasuh anaknya. 

Di mata Beni, Margaretha adalah sosok perempuan idaman. Tak seperti karyawati lain yang menghidupi suami di rumah, ia tak pernah pindah ke lain hati. Meski godaan deras menghantam. 

Di pabrik ini, kisah-kisah perselingkuhan sesama karyawan bak cendawan di musim hujan. Orang-orang malas membahas. Bosan, karena telah menjadi kebiasaan. Ini sama halnya dengan pemandangan aneh menjelang sore, para suami menggendong balita di atas motor, menjemput istrinya pulang bekerja. 

Beni punya prinsip, jangan sampai tulang rusuk menjadi tulang punggung. Seorang istri boleh bekerja, tetapi jangan dipaksa. Karena urusan mencari nafkah adalah kewajiban suami. Bukan soal harga diri, tetapi memang begitulah seorang lelaki, mesti tahu diri. 

Lima belas menit sebelum bel pulang berbunyi, Beni sudah merokok di belakang gudang. Tangannya merogoh kantong celana. Ia mengeluarkan sebuah cincin emas, dan memandangi sambil termenung. 

"Kau kubeli sewaktu aku menang taruhan, pantaslah kau kugadai untuk modal nanti malam! Ah, tapi ini kan untuk modal masa depan. Aduh, bingung aku!" Beni gelisah. 

Dua bulan lalu, cincin emas itu dibeli untuk melamar Ratih. Namun ia selalu merasa belum siap untuk menikah. Tak ada rasa khawatir soal mendua, Ratih terbukti setia. 

Masalahnya, justru pada Beni yang kecanduan judi. Baron, suami Margaretha, sudah meracuninya terlalu lama. Bila tiba terima gaji, tak tahan keinginannya untuk melipatgandakan uang itu. Bukan soal kurang, tetapi alasannya karena belum cukup banyak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun