Demokrasi kerap dikritik sebagai sistem yang cacat. Katanya, dalam kondisi masyarakat yang sakit, bakal terpilih pemimpin pesakitan. Namun bila dipikir-pikir, dalam gerombolan penyamun, tidak pernah ada demokrasi. Pemimpinnya, pasti orang yang paling sadis. Mungkin, itulah awal mula istilah si raja tega.
Nanang Rudiansah, terkenal dengan julukan Namrud. Preman paling ditakuti di wilayah Pasar Maling. "Si Raja Tega" baru keluar dari penjara. Dan belum genap sebulan kembali ke masyarakat, ia sudah bikin gara-gara.Â
Dua puluh sepeda motor dalam satu deret parkiran liar, mengalami bocor ban. Hingga omelan, umpatan, dan caci-maki, berhamburan dari pemiliknya. Petugas parkir jadi bulan-bulanan. Dan terpaksa, jasa parkir hari itu digratiskan.Â
Bang Komar, jawara merangkap koordinator parkir, terpaku memandang para pengendara. Mereka berbondong-bondong, menuntun sepeda motor ke arah jalan raya. Dalam dadanya marah, dalam hatinya gelisah, "Siapa orang jahil yang tega melakukannya?"
"Bang Namrud baru keluar dari penjara, Bang!" Ucup yang kebetulan melintas, memberi petunjuk pada Bang Komar.Â
"Di mana dia sekarang, Cup?"Â
"Mau apa, Bang?" Ucup malah balik bertanya.Â
"Perang, Bang? Bahaya!" lanjutnya.Â
"Bukan, aku mau kasih setengah lahan parkir buat dia."Â
Dahulu Namrud memang penguasa. Tak ada bisnis jalanan, yang tak memberikan jatah kepadanya. Dan bila ada yang berani menolak, maka nyawa urusannya.Â