Badai tak jua reda. Kapal kami sudah oleng ke kiri. Terhempas gelombang hebat yang tak henti-hentinya menerjang. Di malam gelap dan dingin. Di antara ratapan dan ketakutan. Tak ada lagi yang dapat dilakukan, selain berdo'a untuk memohon keselamatan.Â
Selembar nyawa kupasrahkan pada seutas tali di ujung pelampung. Dan selebihnya, kuserahkan kepada Tuhan. Keadaan yang lebih buruk, acap kali terjadi. Meski aku selalu dapat melewatinya. Namun tetap saja tak pernah mudah.Â
Di tengah lautan, apapun dapat terjadi. Kesenangan atau kesedihan. Pesta atau dukacita. Aku terbiasa menghadapi semuanya dengan ketenangan. Karena kegelisahan, hanyalah menambah beban.Â
Namun, kali ini begitu berbeda. Kerinduan pada Marni dan anak-anak kami selalu membayangi. Padahal, ini bukan pertama kali aku bekerja jauh dari rumah.Â
Bukan soal dua tahun yang terlewati. Bukan juga soal perjalanan berbahaya yang kujalani. Namun tentang sebuah kebenaran yang kusembunyikan darinya.Â
"We'll never get to the Thailand! be prepared for the worst!"
Meskipun gemuruh angin dan debur ombak memekakkan telinga, instruksi yang kami terima dari Nakhoda, terdengar nyaring.Â
Kondisi darurat, memaksa kapal memasuki perairan Indonesia. Hatiku seperti tersengat. Inikah akhir perjalanan. Dan aku akan segera pulang.Â
Raut wajah Marni kian jelas dalam ingatan. Kerinduan ini, akankah menemukan jalan?Â
Mataku tak dapat terpejam. Kemiringan kapal sudah jauh dari ambang normal. Kepanikan menjalar dari ruang mesin. Kebocoran kian parah, ditambah muntahan air laut yang deras terhempas badai. Aku semakin erat menggenggam tali.Â