Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Lodge Sophia

1 Juli 2021   22:08 Diperbarui: 3 Juli 2021   19:33 1261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia melangkahkan kaki lebih cepat, berharap berada di sana sebelum langit benar-benar gelap. Hingga seruan dari arah belakang menahan langkahnya. 

"Kendhel!"

Nenek pencari kayu bakar, berdiri mematung di bawah pohon beringin besar. Perempuan renta itu berseru, seakan memperingatkan Utari. Terlihat sorot matanya bak menyala. Menatap tajam di balik kegelapan.

Utari menoleh ke arah sang nenek dan kembali diserang ketakutan. Ia pun berlari menembus akar-akar gantung yang menjuntai. Masuk semakin dalam ke area bangunan tua.

Dan dengan langkah tak beraturan, ia memaksa memacu kecepatan. Hingga sebuah puing membuat tubuhnya terpelanting dan pingsan. Iapun terjatuh, tepat di bawah menara. 

Timo keluar terburu-buru dari beranda losmen di Semarang. Tangannya menggenggam buku catatan milik Utari. 

"Utari sudah tak waras! obsesi menuntunnya ke dalam bahaya!" Timo membanting pintu mobil dan bergegas menekan gas. 


Timo berharap dapat menemukan dusun Klewang, malam itu juga. Dan mencegah Utari berkunjung ke Lodge Sophia. Tempat terkutuk yang telah merenggut banyak nyawa. 

"Sudah bangun, Cah Ayu. Aku sudah bilang jangan masuk tempat ini." Lirih suara nenek tua menyapa Utari setengah berdesis. 

"Nenek bisa bahasa Indonesia?" tanya Utari. 

Tubuhnya terikat tali. Ia tak dapat bergerak bebas. Nafasnya memburu. Ketakutan semakin menjadi. Nenek itu tepat berada di hadapannya. Kelam dan pengap, Utari tak tahu tengah berada di mana. 

"Tentu saja, kami pernah bersumpah menggunakan bahasa ini. Dan itu sudah sembilan puluh tahun lalu. Meskipun organisasi kami tak pernah tercatatkan dalam sejarah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun