Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Teman Curhat

12 Juni 2021   12:27 Diperbarui: 12 Juni 2021   22:02 3218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang yang sedang butuh teman curhat. Sumber: Thinkstockphotos via Kompas.com

"Oh Tuhan, jauhkanlah aku dari godaan Mira yang membuatku tak berkutik." 

Lantunan do'a di malam ini. Di sudut kamar kost 4 x 4 meter persegi. Di kawasan paling romantis di selatan Jakarta. Dari balik jendela, kulihat Mira menjelang tergesa-gesa. 

Ia berlari menembus derasnya hujan ke arahku. Membuat jantungku berdegup kencang di balik pintu, dan berharap apa yang kulihat sekedar halusinasi. 

Namun kedatangan Mira bukanlah ilusi. Ia terpaku menatapku saat kubuka pintu. Ia menangis. Aku bisa membedakan air hujan dan air mata. Mengalir deras di pipi tembemnya. Lalu tumpah, membasahi tubuh yang sudah lebih dahulu basah kuyup.

"Jono, hatiku sakit!"

Pada setiap kata yang berhembus dari bibir manisnya, aku menangkap kegelisahan yang tak pernah berakhir. Selalu begitu, sejak pertama kali bertemu. Ia mencurahkan kisah percintaan yang tak ada habisnya. Padaku, hanya padaku. 

Dua tahun sejak kami saling mengenal di kantin kampus. Teman datang dan pergi silih berganti. Namun Mira dan aku, selalu datang dan bertemu di meja paling pojok. Hanya sekedar berbagi cerita. Ia yang berbagi, aku yang menerima. 

Entah, malam ini kisah apalagi yang akan diceritakan. Dikeluhkan dan dikesahkan. Genap dua tahun, sudah ada empat ikatan cinta yang dikandaskan. Kuyakin pasti menarik, karena biasanya tak pernah ada air mata. 

Mantan pertama ditamparnya di depan umum. Ia tak tahan. Tangan nakal si lelaki, dibalas Mira dengan ringan tangan. Mantan kedua ditinggalkan di bioskop. Ia meledak. Bibir nakal si lelaki, dibalas caci maki. Dan Mantan ketiga, diputuskan lewat pesan singkat. Ia merasa diabaikan. Tak ada cinta lagi katanya. 

Hingga suatu hari, Mira meminjam tanganku untuk menuntaskan mantan keempat. Kuremukan ruas-ruas jari lelaki itu. Berharap si lelaki menyesali perbuatan buruknya, karena menampar perempuan hanya dapat dilakukan oleh pecundang.

Ia bukan perempuan cengeng. Ia berbagi cerita padaku bukan sekedar mengeluh, tetapi ia percaya padaku. Setidaknya itu yang kurasakan.

Mira pasti baru putus. Minggu kemarin ia bercerita, kedekatannya dengan seorang lelaki di cafe di depan kampus. Nada-nada minor dari petikan gitar si lelaki telah menggetarkan hatinya.

Ternyata ia belum belajar dari kesalahan. Meski kecewa, aku dibuatnya penasaran. Namun, waktunya tak tepat. Delapan belas menit lagi, jarum jam menusuk angka dua belas. Hari ini akan berakhir. Dan alarm tanda bahaya akan berbunyi. 

Detak jantungku semakin cepat. Naluri memacu adrenalin melewati batas. Cuaca mendukung.  Kami hanya berdua di dalam kamar. Iblis di belakang kami, duduk menyilangkan kaki. 

Tanganku menghapus sisa-sisa air matanya. Ia menarik jemariku ke dalam genggaman mesra. Hingga aku menarik nafas. Memberikan segaris senyuman. Dan melepaskan genggaman itu dengan lembut. 

"Tak ada teh hangat. Kopi sudah habis. Pulanglah, hujan sudah reda. Biar kuantar."

Aku mengambil sweater dari dalam lemari dan memakaikan padanya. Meraih pundaknya dan menuntun keluar kamar. Namun Ia tak bergeming. Ia terduduk bersandar di tembok kamarku. Ia tertunduk lesu. 

"Aku mau cerita, Jono," ucapnya lirih. 

"Besok saja. Tidur lebih baik saat ini," jawabku. 

Mira pernah bertanya, apakah aku mau menjadi pacarnya. Dan saat itu, aku tak menjawab apapun. 

Padahal dalam hati berkata, aku tak mungkin bisa menolak. Wajah cantik, kepribadian menarik. Ditambah prestasi akademik yang ciamik. Kami sudah saling mengenal cukup dalam. 

Namun kami jelas berbeda prinsip. Aku tak pernah berhasrat untuk menjalin hubungan serius, sebelum ijazah sarjana teknik kubawa pulang dan melemparkannya pada meja personalia di perusahaan ternama. 

Lagipula orangtuaku di kampung, lebih senang aku membawa pulang mobil BMW daripada calon menantu. 

"Ayolah, Mira"

Aku berdiri di depan pintu. Berharap ia mengerti dan lekas pulang bersamaku. Tak perlu ada cerita malam ini. Dan aku tak ingin ia menyesal, bila harus membuat cerita denganku di kamar ini. Iapun bangkit. 

"Kamu mau jadi pacarku, Jono?" pertanyaan itu terucap lagi malam ini. Membuatku lemas tak berdaya. Haruskah aku masuk dan menutup pintu. Kemudian memberikan jawaban lewat sebuah ciuman. Tidak.

Kuraih tangan Mira dan mendekatkan tubuhnya padaku. Ku pandang kedua bola matanya yang sayu. Tak ada cinta di sana. 

Ketika tangannya mencoba memelukku. Kukemas seluruh hasrat liar itu. Kutarik Mira ke depan pintu. Dan kamipun pergi meninggalkan iblis yang tengah menepuk dahi. 

"Kamu tak perlu repot-repot jadi pacarku." 

Hanya kalimat ini yang bisa kuucapkan untuk menutup malam. 

Di Jagakarsa, kami menjaga karsa dan rasa yang menghilang di balik malam. Mira harus belajar menemukan jawaban atas kegelisahannya sendiri. 

Mungkin setelah itu, aku yang akan datang memintanya bersandar. Bukan malam ini. Ia memelukku sepanjang jalan hanya karena kedinginan. 

Hidup tak melulu soal cinta. Karenanya nama-nama mantan, tak pernah dicatat dalam Curiculum Vitae.

Ilustrasi Teman Curhat /Foto: Pexels Via Pixabay.
Ilustrasi Teman Curhat /Foto: Pexels Via Pixabay.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun