Syahdan disebuah kerajaan antah berantah dalam dongeng negeri Perancis, seorang raja pada suatu masa menginjak seekor kucing dengan sengaja dan seketika kucing tersebut berubah menjadi seorang penyihir yang buruk rupa.
Raja yang melihat penyihir tersebut pun menertawakan dan meledek bentuk hidungnya yang besar dan menggelikan, tindakan body shaming yang lebih buruk dari penyihir itu sendiri, dan hal tersebut membuat penyihir menjatuhkan sebuah kutukan.
Kelak sang pangeran akan terlahir dengan hidung yang besar dan buruk rupa, dimana tak akan ada perbuatan yang dapat menghilangkan kutukan itu selain kepasrahan sang pangeran dalam menerima wujud hidungnya tersebut.
Pangeran itu bernama Hyacinth, lahir dengan kondisi hidung yang tidak normal namun orang-orang didalam lingkungan istana tidak pernah mengatakan hal yang sebenarnya.
Seluruh penduduk dan tamu negara lain yang melihat kondisi hidung pangeran Hyacinth dibungkam, dengan pandangan bahwa sebenarnya hidung merekalah yang tidak normal, bukan hidung pangeran.
Hingga suatu ketika pangeran menyadari bahwa bentuk hidungnya lah yang tidak normal, saat tidak dapat mencium sang Putri karena terhalang oleh bentuk hidungnya yang besar.
Pun "Hidung besar" yang tercipta dari sebuah kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah manifestasi dari arogansi seorang raja dan jauh dari nilai kebijaksanaan yang harusnya ditunjukkan oleh seorang raja.
Ucapan Emmanuel Macron bukanlah satu-satunya "hidung besar" yang menghiasi daratan Eropa, tindakan lebih buruk sudah banyak dipraktekkan oleh Charlie Hebdo, Rasmus Paludan dan kawan-kawannya.
Jika boleh meminjam judul sebuah film fiksi, maka sikap dan tindakan Emmanuel Macron, Rasmus Paludan, Charlie Hebdo dan sejenisnya adalah sebuah awan hitam yang menghalangi 99 cahaya di langit Eropa.
Waktu berlalu dan saat ini negeri Perancis sudah berbentuk republik, kemudian rakyatnya meletakkan sebuah figur wanita cantik bernama Marianne sebagai simbol kebebasan yang dihormati.