Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hijriyah di Tahun Masehi

20 Agustus 2020   14:56 Diperbarui: 20 Agustus 2020   20:21 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hijriyah di Tahun Masehi

Kamis, 20 Agustus 2020, diperingati sebagai perayaan 1 Muharam 1442 di Indonesia, berbagai renungan, tausyiah, tabligh akbar dan suka cita menyambut tahun baru Islam menjadi bermacam budaya rutin disetiap tahun.

Mungkin tahun ini berbeda, kebiasaan baru saat pandemi memaksa sebagian besar kegiatan sosial kebudayaan menjadi Ter-distanching, hingga menghentikan sementara kegiatan-kegiatan yang melibatkan kerumunan orang dan kontak fisik. Meskipun beberapa kegiatan syukuran tetap digelar dengan protokol kesehatan yang diatur gugus tugas Covid-19.

Beberapa perayaan tahunan terkait peringatan tahun baru Islam di Indonesia,  yang ditiadakan atau disesuaikan kondisi era pandemi, seperti Festival Tabot di Jambi, Rangkaian perayaan 1 Suro di Jawa meliputi kirab kebo bule dan grebek suro, Pawai obor dan ngadulag di Jawa barat. Meskipun beberapa kegiatan dapat dilaksanakan dengan skala kecil semisal nganggung dibangka, makan bubur Acura diaceh. Semoga tak menghilangkan makna Hijriyah itu sendiri.

Kalender Hijriyah ditandai Peristiwa hijrah Nabi Besar Muhammad SAW dari Mekkah menuju Madinah pada tahun 622 Masehi, kalender ini mengambil perhitungan berdasarkan peredaran bulan, berbeda dengan kalender Masehi yang menggunakan peredaran matahari.

Secara fungsi kalender Hijriyah digunakan untuk menandai hari hari besar keagamaan seperti peristiwa Hijrah Nabi Besar Muhammad SAW, Hari Asyura, Maulid Nabi, Isra mi'raj, Puasa Ramadhan, Idhul Fitri dan Idul Adha. Tahun 1633 Masehi muncul kalender Jawa yang menyesuaikan dengan kalender Hijriyah, dicetuskan pada tahun 1555 Saka melalui dekrit Sultan Agung Mataram Islam.

Pada perkembangannya pada tahun 1856 Masehi diperbaharui oleh Pakubuwana VII, karena kurang cocok untuk menentukan masa bercocok tanam bagi petani, sedangkan istilah-istilah penamaan hari, bulan dan tahun tetap merujuk pada istilah kalender Saka yang digunakan sebelumnya.

Pada masyarakat pra Islam dan pengaruh barat, penggunaan kalender lokal selain untuk menandai waktu, fungsi nya sebagai penanda masa bercocok tanam, peringatan ritual dan astronomi. Ditararan Sunda kalender dibuat menjadi tiga Caka, yakni Suryakala Caka dengan mengamati peredaran matahari, Chandrakala Caka dengan mengamati peredaran bulan, dan Sukrakala Caka dengan mengamati kedudukan bintang.

Dan saat ini sungguh disayangkan kajian untuk mengetahui penggunaan kalender Jawa dan Sunda kerap dilabel dengan fanatik buta atau primodialis, meskipun kalender Jawa masih bertahan, tak ayal dikesankan hanya untuk menghitung ramalan, primbon,weton dan hal-hal lain yang sebenarnya lebih bermanfaat dari itu semua.

Penggunaan Kalender Masehi masih menjadi kesepakatan didunia, dengan perayaan kembang api diberbagai negara setiap tahunnya.
Merujuk pada sumber Wikipedia : " Kalender Masehi atau Anno Domini (AD) dalam bahasa Inggris adalah sebutan untuk penanggalan atau penomoran tahun yang digunakan pada kalender Julian dan Gregorian. Era kalender ini didasarkan pada tahun tradisional yang dihitung sejak kelahiran Yesus dari Nazaret. Masehi dihitung sejak hari tersebut, sedangkan sebelum itu disebut Sebelum Masehi atau SM. Perhitungan tanggal dan bulan pada Kalender Julian disempurnakan pada tahun 1582 menjadi kalender Gregorian. Penanggalan ini kemudian digunakan secara luas di dunia untuk mempermudah komunikasi."

Meski sehari-hari menggunakan kalender Masehi, di Indonesia kata serapan dari kalender Hijriyah belum hilang, dalam penggunaan nama-nama hari, kita masih memakai Senin bukan Monday dan selalu mengingat bulan Muharram sebagai tahun baru Islam, bulan Ramadhan sebagai waktu berpuasa dan bulan Sawal sebagai bulan baik untuk menikah.

Waktu begitu penting, bahkan era modern memaknainya sebagai uang.
Waktu begitu penting, hingga peringatan peristiwa-peristiwa dimasa lalu dimaknai sebagai pembelajaran.
Waktu begitu penting, hingga setiap detiknya kita maknai sebagai rasa syukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun