Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan featured

Wacana Gelar Pahlawan Nasional untuk Atlet, Masih Layakkah?

9 November 2018   23:35 Diperbarui: 10 November 2019   13:47 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Getty Images/Bob Thomas

Perjuangan para atlet di Asian Games 2018 faktanya sempat meredakan ketegangan politik dan ancaman benih perpecahan akibat perbedaan pandangan politik. Tentu kita tak lupa dengan pelukan hangat Hanifan Yudani Kusumah, sang peraih medali emas Asian Games 2018, kepada dua calon presiden di Pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo.

Tindakan Yudani sebenarnya sangat sederhana jika melihat dari kacamata bahwa Jokowi Presiden RI dan Prabowo sebagai ketua umum Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI). Namun jadi viral dan bombastis jika melihat rangkulan tersebut dari kacamata politik.

Apa yang dilakukan Yudani dengan merangkul dua tokoh ini tentu membuat publik merasakan sensasi berbeda. Rangkulan tersebut seperti hujan di musim kemarau jika menengok iklim politik yang tengah terjadi. Saya pun sama terharunya dengan Hanifan setelah merangkul kedua tokoh tersebut.

Selain itu, yang menarik tentu saja pernyataan dari Menpora bahwa atlet memiliki cerita kepahlawanannya sendiri. Mundur ke berpuluh-puluh tahun ke belakang, sejumlah mantan atlet faktanya juga mampu mengisi kemerdekaan demi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kita bisa menengok cerita kepahlawanan mantan kiper Timnas Indonesia, Maulwi Saelan. Tentu sudah banyak yang tahu bagaimana cerita kepahlawanan dari Saelan begitu membekas dan berarti bagi perjalanan bangsa ini.

Bukan semata aksi tangguhnya di bawah mistar Timnas Indonesia, mantan ajudan Presiden Soekarno ini juga jadi berperan untuk perjuangan pendidikan di negeri ini, ia termasuk salah satu pendiri Taman Siswa Makassar.

Tak itu saja, saat revolusi fisik melawan penjajah, kiper yang membuat Uni Soviet pontang panting kesulitan mengalahkan Timnas Indonesia juga mengangkat senjata. Saelan diketahui bersama Wolter Monginsidi membentuk laskar gerilya yang diberi-nama "Harimau Indonesia". Kesatuan gerilya ini kebanyakan beranggotakan pelajar.

Saat perjanjian Linggarjati diberlakukan pada Maret 1947, Saelan meneruskan perjuangannnya di Pulau Jawa. Dikutip dari berdikarionline.com, Saelan bertempur melawan Belanda di daerah Malang selatan. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, ia ditunjuk sebagai Wakil Komandan Yon VII/CPM Makassar.

Apakah Maulwi Saelan layak mendapat gelar Pahlawan Nasional? Saya rasa sangat pantas. Namun sayangnya peristiwa G30S membuat dirinya sampai detik ini dianggap 'bukan siapa-siapa'.

Selain Saelan, ada juga Raden Maladi. Sama dengan Saelan, Maladi juga kiper tangguh untuk Timnas Indonesia. Maladi juga terlibat di revolusi fisik melawan Belanda. Maladi menjadi salah satu komandan dalam pertempuran empat hari di Solo pada Agustus 1949.

Ia lalu sempat menjadi menjadi Ketum PSSI pada 1950. Terpilihnya Maladi sebagai ketum PSSI saat itu banyak disebut-sebut sebagai pembuka jalan untuk mempermulus politik luar negeri Indonesia yang saat itu menerapkan Poros Jakarta-Peking.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun