Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan featured

Wacana Gelar Pahlawan Nasional untuk Atlet, Masih Layakkah?

9 November 2018   23:35 Diperbarui: 10 November 2019   13:47 986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Getty Images/Bob Thomas

Pada perayaan Hari Pahlawan 2015, (eks-)Menpora Imam Nahrawi sempat melemparkan wacana soal penghargaan negara kepada atlet yang beprestasi di level internasional. Tak tanggung-tanggung, Imam Nahrawi menggagas ide penghargaan tersebut berupa gelar pahlawan nasional.  

"Memang belum ada pahlawan nasional Indonesia yang latar belakangnya atlet atau olahragawan. Akan tetapi, olahraga punya cerita kepahlawanannya sendiri," kata Imam saat itu.

Wacana itu kemudian terus bergulir pada 2016 pasca-kemenangan ganda campuran Indonesia, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di final nomor ganda campuran bulutangkis di ajang Olimpiade Rio 2016. Medali emas jadi kado spesial jelang perayaan HUT Proklamasi RI 2016.

Saat disinggung sejumlah pewarta soal wacana gelar Pahlawan untuk para atlet di momen tersebut, Imam Nahrawi masih konsisten menjawab bahwa pihaknya mendorong hal tersebut dengan melihat prosedur yang ada.

"Kita lihat prosedurnya seperti apa. Keinginan dan niat itu ada, tapi semua terkait dengan administrasi. Tapi tetap kita bakal usulkan," kata politisi asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.

Jika menilik dari peraturan perundang-undangan yang ada, gelar pahlawan bisa diterima seseorang dengan memperhatikan pasal 1 angka 4 Undang-undang Republik Indonesia No.20 tahun 2009 tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.

Dikutip dari hukumonline.com, di pasal 1 angka 4 UU No 20 tahun 2009 disebutkan:

Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Artinya jika ingin memberikan gelar pahlawan nasional untuk atlet yang berprestasi tentu saja gugur jika melihat penjelasan di atas. Namun menarik jika melihat syarat umum dan khusus soal gelar pahlawan nasional kepada seseorang seperti yang diatur di Pasal 25 dan 26 UU No 26 tahun 2009.

Di syarat khusus yang terdapat di pasal 26 misalnya disebutkan gelar pahlawan nasional bisa diberikan jika seseorang pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam hal mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tentu saja para atlet yang berprestasi di level internasional mampu melakukan hal itu. Tengok saja bagaimana semua mata tertuju saat atlet kita berjuang mati-matian di kancah Asian Games 2018 lalu.

Perjuangan para atlet di Asian Games 2018 faktanya sempat meredakan ketegangan politik dan ancaman benih perpecahan akibat perbedaan pandangan politik. Tentu kita tak lupa dengan pelukan hangat Hanifan Yudani Kusumah, sang peraih medali emas Asian Games 2018, kepada dua calon presiden di Pilpres 2019, Jokowi dan Prabowo.

Tindakan Yudani sebenarnya sangat sederhana jika melihat dari kacamata bahwa Jokowi Presiden RI dan Prabowo sebagai ketua umum Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia (IPSI). Namun jadi viral dan bombastis jika melihat rangkulan tersebut dari kacamata politik.

Apa yang dilakukan Yudani dengan merangkul dua tokoh ini tentu membuat publik merasakan sensasi berbeda. Rangkulan tersebut seperti hujan di musim kemarau jika menengok iklim politik yang tengah terjadi. Saya pun sama terharunya dengan Hanifan setelah merangkul kedua tokoh tersebut.

Selain itu, yang menarik tentu saja pernyataan dari Menpora bahwa atlet memiliki cerita kepahlawanannya sendiri. Mundur ke berpuluh-puluh tahun ke belakang, sejumlah mantan atlet faktanya juga mampu mengisi kemerdekaan demi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kita bisa menengok cerita kepahlawanan mantan kiper Timnas Indonesia, Maulwi Saelan. Tentu sudah banyak yang tahu bagaimana cerita kepahlawanan dari Saelan begitu membekas dan berarti bagi perjalanan bangsa ini.

Bukan semata aksi tangguhnya di bawah mistar Timnas Indonesia, mantan ajudan Presiden Soekarno ini juga jadi berperan untuk perjuangan pendidikan di negeri ini, ia termasuk salah satu pendiri Taman Siswa Makassar.

Tak itu saja, saat revolusi fisik melawan penjajah, kiper yang membuat Uni Soviet pontang panting kesulitan mengalahkan Timnas Indonesia juga mengangkat senjata. Saelan diketahui bersama Wolter Monginsidi membentuk laskar gerilya yang diberi-nama "Harimau Indonesia". Kesatuan gerilya ini kebanyakan beranggotakan pelajar.

Saat perjanjian Linggarjati diberlakukan pada Maret 1947, Saelan meneruskan perjuangannnya di Pulau Jawa. Dikutip dari berdikarionline.com, Saelan bertempur melawan Belanda di daerah Malang selatan. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, ia ditunjuk sebagai Wakil Komandan Yon VII/CPM Makassar.

Apakah Maulwi Saelan layak mendapat gelar Pahlawan Nasional? Saya rasa sangat pantas. Namun sayangnya peristiwa G30S membuat dirinya sampai detik ini dianggap 'bukan siapa-siapa'.

Selain Saelan, ada juga Raden Maladi. Sama dengan Saelan, Maladi juga kiper tangguh untuk Timnas Indonesia. Maladi juga terlibat di revolusi fisik melawan Belanda. Maladi menjadi salah satu komandan dalam pertempuran empat hari di Solo pada Agustus 1949.

Ia lalu sempat menjadi menjadi Ketum PSSI pada 1950. Terpilihnya Maladi sebagai ketum PSSI saat itu banyak disebut-sebut sebagai pembuka jalan untuk mempermulus politik luar negeri Indonesia yang saat itu menerapkan Poros Jakarta-Peking.

Di buku berjudul Jas Merah, Sisi Lain Sepakbola Nasional karya Deni Rinaldi dan rekan-rekan disebutkan bahwa, "Penunjukan R. Maladi sebagai Ketua Umum PSSI pada 1950 juga dinilai untuk melicinkan kekuatan poros Jakarta-Beijing pasca Perang Dunia"

Namun lagi-lagi, Maladi pun memiliki nasib serupa dengan Saelan saat ini. Dianggap 'bukan siapa-siapa'.

Cerita kepahlawanan lain juga datang mantan Karnah Sukarta, peraih medali perunggu di Asian Games 1958 Tokyo dari cabang cabang atletik nomor lempar lembing.

Kisah kepahlawanan Karnah berakhir miris. perjuangan Sukarta yang mengharumkan nama negaranya yang baru 'lahir' tersebut berakhir dengan tuduhan dan fitnah keji yang berujung pada hancurnya Karnah, tidak hanya sebagai seorang atlet tapi juga sebagai seorang manusia.

Karnah dituduh menerima suap tak lama setelah prestasi membanggakan itu. "Karnah menyatakan bahwa apa yang telah diterimanya itu berupa uang, tidak ada hubungannya dengan keolahragaan, akan tetapi semata-mata karena dia sebagai murid yang terlantar hidupnya," tulis majalah Aneka, 20 Oktober 1959.

Tidak itu saja, ia juga kemudian dituduh sebagai bagian dari PKI. Karnah diketahui memang sebagai seorang yang mengagumi Soekarno. Rumahnya di Bandung dibakar, rumah tangganya berantakan, ia diceraikan oleh sang istri, dan terakhir ia mendekam di penjara selama setahun di Kebonwaru.

Kabar terakhir soal Karnah kemudian membuat heboh, pasalnya ia kemudian berganti jenis kelamin menjadi laki-laki dan berganti nama menjadi Iwan Setiawan. Pada 2007, Kementerian Pemuda dan Olahraga memberi bantuan uang dan rumah kepada Karnah alias Iwan Setiawan dan beberapa mantan atlet berprestasi Indonesia lainnya.

Dari seklumit cerita kepahlawanan para atlet di masa lampau, atau banyak cerita kepahlawanan para atlet di era saat ini, masih layakkah usulan Cak Imam soal penghargaan pahlawan nasional untuk mereka?

Jika sekadar penamaan tentu bisa menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Para atlet ini pun sepertinya akan menolak gelar tersebut. Kemenpora pun belakangan mempopulerkan istilah untuk para atlet berprestasi ini dengan sebutan pahlawan olahraga.

Tapi mari sedikit menengok langkah sejumlah negara di dunia yang memberikan gelar pahlawan nasional untuk para atlet berprestasi mereka. Venezuela misalnya.

Atlet anggar mereka Ruben Limardo mendapat gelar pahlawan nasional usai menyumbang medali emas Olimpiade London 2012. Medali emas Limardo merupakan yang kedua bagi Venezuela. Emas pertama diraih petinju kelas terbang ringan, Francisco Rodriguez pada 1968 silam.

Lalu ada juga Brasil yang memberikan gelar pahlawan nasional kepada atlet mereka bernama Thiago Braz da Silva. Silva merupakan atlet lompat galah yang sukses meraih medali emas di Olimpiade Rio 2016. Ini merupakan emas kedua bagi Brasil dari cabang atletik setelah 22 tahun berpuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun