Eksistensi perempuan di masyarakat masih sering diragukan. Banyak yang berpandangan bahwa perempuan hanyalah objek kungkungan, harus patuh dan tunduk pada moral, etika, serta aturan yang membelit masyarakat. Perempuan bukanlah apa-apa. Banyak diskriminasi yang dialami perempuan bahkan sampai saat ini. Lalu, bagaimanakah sebuah karya sastra memproyeksikan ketidakadilan yang dialami perempuan?
Entrok karya Okky Madasari adalah salah satu karya sastra yang berhasil mencerminkan diskriminasi yang harus ditanggung perempuan. Novel ini menjadi karya pertama Okky Madasari atas kegelisahannya terhadap hilangnya toleransi dan tindakan kesewenang-wenangan.
Nah, bagaimana alur cerita dari Entrok? Apa yang menarik dari novel ini? Bagaimana dengan tokohnya? Â
Simak ulasan di bawah ini, yuk!
Sinopsis novel Entrok
Entrok bercerita tentang Marni dan Rahayu, ibu dan anak yang tinggal di Desa Singget. Marni adalah perempuan buta huruf dan miskin, tetapi memiliki tekad kuat untuk mengubah nasib. Dia masih memegang teguh kepercayaan kepada leluhur dan bekerja keras hingga akhirnya menjadi juragan bakulan. Namun, kepercayaannya ini justru ditentang oleh putrinya, Rahayu, yang telah mengenyam pendidikan dan menganggap ibunya penuh dosa. Perbedaan pandangan ini menjadi sumber konflik di antara keduanya, diperparah oleh kondisi sosial dan politik yang mencekam saat itu.
Potret perempuan tangguh: Marni dan Rahayu
Marni digambarkan sebagai perempuan pekerja keras dan penuh semangat juang. Keinginannya memiliki entrok (bra dalam bahasa Jawa) menjadi titik awal perjuangannya hingga sukses menjadi pengusaha. Meski tak berpendidikan, Marni memiliki insting tajam dalam melihat peluang ekonomi.
Sementara itu, Rahayu adalah representasi anak muda yang vokal memperjuangkan kebenaran. Dia keras kepala, berani berbicara apa adanya, dan memiliki pandangan yang lebih modern dibanding ibunya. Meski demikian, perjuangan mereka berdua tetaplah sama—berusaha mempertahankan hidup di tengah ketidakadilan.
Jika harus memilih, saya pribadi lebih menyukai Marni. Keberaniannya dalam menghadapi hidup, kemandirian, dan ketangguhannya di tengah keterbatasan membuatnya menjadi tokoh yang sangat inspiratif, terutama bagi perempuan di masa itu.
Hegemoni yang membelenggu perempuan
Entrok menggambarkan kondisi sosial-politik yang penuh tekanan. Masyarakat dipaksa tunduk kepada pemerintah, menghadapi ketidakpastian dan ketakutan setiap saat. Novel ini juga menyoroti bagaimana hegemoni bukan hanya datang dari negara, tetapi juga dari masyarakat sendiri terhadap perempuan—dari yang dewasa sampai yang muda.
Perempuan dalam novel ini mengalami diskriminasi dari berbagai pihak—pemerintah, aparat, bahkan lingkungan sekitar. Mereka dianggap sebagai makhluk lemah yang bisa dipermainkan sesuka hati. Rasa muak terhadap ketidakadilan begitu terasa melalui dialog-dialog para tokoh, seperti di bawah ini:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!