Tiga pictbook dari penerbit Muara Media tergeletak di depan saya. Baru saja saya unboxing dari paket yang diantarkan kurir. Tiga pictbook tersebut hadiah dari seorang teman.
Dua dari penulis tiga pictbook tersebut saya kenal namanya. Mulasih Tary, seorang penulis cerita anak dan guru kursus menulis online. Dian Sukma Kuswardani, adalah teman saya sesama murid di kelas menulis beberapa tahun lalu. Dian dan juga beberapa teman dari kelas menulis cerita anak, telah menerbitkan banyak buku maupun pictbook. Saya? Hellow apa kabar. Penulis pictbook yang ketiga adalah Anindya Imas Hastungkoro, saya baru mendengar namanya.
Sebelum membahas tentang bagaimana ketiga pictbook ini menggedor jiwa saya, ada baiknya kita review singkat ketiganya.
Ketupat Istimewa Hanif merupakan pictbook karya Dian Sukma Kuswardhani. Menceritakan tentang seorang anak bernama Hanif menyambut idul fitri. Hanif tertarik melihat nenek dan kakaknya membuat selongsong ketupat. Ia ingin mencoba membuat sendiri. Dengan susah payah ia berhasil membuat selongsong ketupat. Ia menunggu ketupat dimasak tapi ketupat dimasak lama sekali sampai Hanif tertidur. Esok paginya setelah Salat Ied, Hanif makan ketupat buatannya sendiri.
Moral of the story: kerja keras, kesabaran, ada hikmahnya.
Kotak Pensil Yahya adalah karya dari Mulasih Tary. Bercerita tentang Yahya yang suka sekali main hp. Walaupun hp disita bunda, ia merengek-rengek minta hp tersebut. Â
Suatu saat saat main hp, tiba-tiba hp tersebut mati. Yahya mengembalikan hp ke ibu dan merasa bosan. Akhirnya dia membaca buku yang dibelikan ibu yaitu buku yang berisi aktivitas anak. Yahya tertarik dan mencoba membuat kotak pensil dengan langkah-langkah seperti pada buku. Akhirnya Yahya berhasil membuat kotak pensil. Ia senang dan ingin mencoba aktivitas lainnya.
Moral of the story: Â main hp harus dibatasi dan ada aktivitas lain yang lebih menarik dari sekadar main hp.
Tongkat Kakek karya Anindya Imas Hastungkoro, bercerita tentang dua bersaudara kakak beradik yang kedatangan kakek yang sangat mereka sayang. Namun, kakek sedang sakit. Kedua cucu yang baik itu membantu kakek beraktivitas.
 Olala tak sengaja si kakak mematahkan tongkat Kakek. Ia berusaha memperbaiki tapi tidak bisa. Ia berusaha mencari tongkat pengganti di apotek tapi harganya mahal. Uangnya tidak cukup. Si kakak berpikir hal apa yang bisa dilakukannya untuk kakek sebagai penebus rasa bersalahnya. Akhirnya ia membuat kupon jasa pijat. Kapanpun kakek mau, kakek bisa menggunakan fasilitas kupon tersebut untuk mendapatkan layanan jasa pijat gratis dari si kakak.
Moral of the story: kita harus bertanggung jawab terhadap apa yang sudah kita lakukan.
Bagaimana? Bagus, kan, bagaimana moral of the story yang dibangun oleh ketiga pictbook tipis ini?
Saya belajar menulis pictbook pada beberapa kelas, bahkan pada kelas yang dipandu oleh Arleen Amidjaya yang saya anggap kelas yang super inspiratif dan menggugah.
Tapi apa hasil dari kelas-kelas itu? Belum satu pun pictbook yang berhasil saya terbitkan. Bahkan Mbak Dian yang notabene adalah adik kelas di kelas menulis Merah Jambu, telah melejit dengan produktif menulis berbagai buku, pun pictbook. Â
Bukan berarti tak ada yang saya hasilkan, namun semua hasil itu masih teronggok di folder laptop, menunggu wangsit menghampiri penulisnya agar berani mengirimkan naskah pictbooknya.
Entah mengapa pictbook membuat saya sedikit keder. Â Saya lebih percaya diri menulis novel atau cerpen anak. Tapi membaca tiga pictbook hadiah ini, terasa ada yang menggedor-gedor jiwa saya. Terasa ada suara dari dalam hati: kamu juga bisa, kok, ayo buktikan!
Semoga masih tersisa waktu bagi saya untuk membuktikan bahwa saya pun bisa menulis pictbook. InsyaAllah semoga Allah mengijabah, aamiin. Doakan ya teman-teman. Salam literasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI