1. Kamu harus hadir penuh di depan si pencerita. Tidak main hape, tidak mikir nanti habis ini mau beli cabai di pasar mana, tidak memikirkan apapun.
2. Fokus pada apa yang diceritakan. Tidak perlu menunggu giliran bercerita. Tidak memotong pembicaraan. Dengarkan saja sampai tuntas.
3. Memberi respons sesuai persoalan. Respons dapat berupa dukungan maupun sanggahan. Tentu cara merespons harus sehalus mungkin agar si pencerita tetap merasa nyaman.
Pernah membayangkan psikolog sedang menghadapi pasien tukang ngutil di toko misalnya? Gimana seandainya setelah cerita, si psikolog bilang:Â
"Wah Anda ini kriminal. Perbuatan Anda melanggar agama. Anda sakit parah."
Pasti si pasien kapok datang ke psikolog.
Jika teman kamu bercerita tentang perselingkuhan misalnya - yang hendak, sedang, atau sudah dilakukan. Mungkin kamu bisa menjawab dengan prolog:Â
"Aku tahu, cinta itu nggak kenal logika. Bisa datang kapan saja pada siapa saja."
Ini tanda kita empati. Setelah itu baru utarakan nilai-nilai umum yang sebenarnya sudah diketahui si pencerita.
"Tapi kamu tahu kan, kalau yang kamu lakukan itu terlarang?"
Alih-alih memilih kata 'dosa', gunakan kata 'terlarang'.