Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Suka Duka Penulis Zaman Dahulu

5 November 2022   11:23 Diperbarui: 6 November 2022   16:20 1010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis cerita (Sumber: PeopleImages via parapuan.co)

Obrolan pagi-pagi dengan seorang kawan, membuat saya menulis artikel ini. Dia ingin tahu bagaimana awalnya saya nulis di majalah Anita. Hmm, padahal majalahnya sudah lama collaps, ya? Kok, saya omongin terus, ntar saya dibilang gagal move on, gimana...?

Tapi yah, demi memenuhi request seorang penggemar (uhuks) tentang kisah jatuh bangunnya saya dulu -- padahal nggak jatuh bangun banget sih, wkwkw, nyombong -- baiklah akan saya tulis seingat saya, ya? Soalnya kan, sudah lama banget.

Demi menulis artikel ini saya bongkar diary lama saya yang ngumpet di pojokan lemari.

Majalah Anita Cemerlang (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)
Majalah Anita Cemerlang (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)

Sudah saya tulis beberapa kali bahwa kegemaran menulis saya berawal dari kegemaran membaca. 

Menginjak usia remaja, saya mulai membaca majalah remaja yang umumnya memiliki rubrik cerpen di dalamnya. Zaman saya dulu sebut saja ada majalah Gadis, Aneka Yess, Aneka Ria, Mode, Anita Cemerlang, Karina, Gaul, Kawanku, Hai, dll.

Dari puluhan majalah remaja yang ada, saya cenderung suka majalah yang cerpennya banyak. Majalah yang cerpennya banyak waktu itu, ya Anita Cemerlang.

Usai membaca cerpen-cerpen remaja di majalah, saya biasanya terbayang-bayang saking indahnya cerita yang dikisahkan. Hal ini pernah saya tulis di diary:

Catatan diary jadul (Dokpri)
Catatan diary jadul (Dokpri)

Minggu, 3 Februari 1991

Aku enggak tahu, apakah bukan hanya aku yang mengalami hal seperti ini. Yang pasti sehabis baca cerpen remaja, pasti kebayang-bayang, deh!

Kisah cinta lha kok nyenengke gitu, ya? Romantis, dech. Apa ada juga di dunia nyata, ya? Kalau kuperhatikan teman-teman laki-lakiku kok kayaknya gombal-gombal nggak kayak di cerpen, ya?

Aduh, ngebaca 'Aneka Ria'nya Tinto (nama sahabat saya), kok enjoy banget, sih. "Cinta Todi dan Noni," (salah satu judul cerpen) begitu apik, si Junaedi Bakhtiar (pengarangnya) itu pinter banget, sih!

"Ballada Pour Adelline," bikin trenyuh -- Effi S. Hidayat. Ya, cuma dua itu (cerpen) yang dapat poin 8.

Hahaha, pelit juga saya waktu itu ya, mengakui ada cerpen yang bagus, tapi nilainya cuma 8, harusnya 9-lah. Itu zaman saya masih SMA. 

Dari tulisan di diary saya itu terlihat bahwa saya sudah mengagumi beberapa penulis Anita, namun masih belum terpikir untuk menulis sendiri.

Kisah bagaimana saya mendapat ide menulis cerpen pertama yang dimuat di Anita, rupanya juga ada rekam jejaknya di diary.

29 April 1991, Senin.

I met someone. Dia begitu mirip dengan Dilan (bukan nama sebenarnya), tapi lebih dewasa, lebih gede, lebih cakep, lebih cuek juga. Aduh, rasanya aku langsung jatuh sama masnya Dilan ini. Pastilah masnya. Aku tidak pernah bisa membayangkan dua orang yang mirip, tapi bukan saudara.

Hahahaha, remaja cewek 90-an yang culun dan halu banget saya dulu, kan, ya? Tapi kehaluan saya itu saya belokkan ke hal positif, yaitu menulis berbagai kejadian nyata menjadi cerpen dengan bumbu-bumbu seenak udel. Kisah saya 'met someone' itu dimuat tahun 1992, judul cerpennya "Kisah Cintaku." Harusnya lebih tepat "Kisah Haluku," hahahaha.

Nah, itu baru cerita soal bagaimana awalnya, dan bagaimana ide itu muncul. Kalau soal teknisnya, sebenarnya nggak ribet-ribet amat juga. Karena doyan baca cerpen di majalah Anita, saya sudah tahu cara penulisan yang baik dan kemungkinan disukai oleh redaksinya. 

Saya juga belajar otodidak saja melalui cerpen di majalah itu, bagaimana cara menuliskan percakapan langsung, naro tanda petiknya bagaimana, dan lain sebagainya.

Pada masa itu, ngirim naskah masih dalam kondisi diketik manual. Mesin ketiknya gimana? Ya, ada. Kami punya dua mesin ketik malah. Kalau nggak salah, satunya memang punya papa saya, atau punya kakak, ya, saya lupa. Satunya punya tante yang semasa kuliah tinggal di rumah eyang di Malang. Kayaknya si tante ngetik skripsinya pakai mesin ketik itu.

Jadi kertas dan kertas karbonnya juga tersedia di rumah. Ehm, generasi sekarang paham kertas karbon, nggak, ya? Jadi biasanya saya ngetik naskah rangkap dua, sehingga ngetiknya pakai dua kertas HVS Folio, dilapisi kertas karbon yang warnanya hitam, agar ketikan di kertas pertama juga tercetak di kertas kedua. Nanti satu rangkap saya kirim ke majalah dan satu lagi saya simpan untuk arsip.

Kalau kertas dan segala macam perlengkapan habis, ya saya tinggal beli saja. Apalagi saat cerpen saya sudah mulai dimuat, saya beli semua keperluan menulis itu pakai uang sendiri. Kalau lagi nggak punya uang ya, pakai uang jajan yang disisihkan lah. Saya pas remaja mending beli kertas dan amplop besar serta perangko, daripada beli pernak-pernik asesoris cewek.

Kalau sudah kelar satu naskah cerpen, ya kira-kira 8 -- 10 halaman kertas folio spasi 2, saya masukkan naskah itu di amplop besar, pasang perangko, lalu pergi ke kantor pos untuk ngeposin naskah ke alamat redaksi majalah Anita.

Bagaimana kita tahu cerpen kita dimuat dan bagaimana dengan honornya?

Pada masa itu, redaksi majalah mengirimkan bukti terbit kalau majalah kita dimuat. Eh, saya lupa-lupa ingat kalau Anita, nih. Karena kadang saya juga beli sendiri. Bahkan pernah saya nemu cerpen saya secara nggak sengaja waktu lihat-lihat majalah di lapak koran.

Yang jelas soal honor, Anita selalu tepat. Asal kita menuliskan alamat kita dengan jelas, ya, saat mengirim naskah. Honornya dikirim lewat weselpos. Duh, bagaimana menerangkan tentang weselpos ke anak generasi sekarang, ya? 

Weselpos itu semacam lembaran  pemberitahuan bahwa kita mendapatkan sejumlah uang. Nanti wesel yang kita terima itu, kita bawa ke kantor pos untuk mengambil sejumlah uang yang nominalnya tertera di si wesel itu.

Ada bukti yang bisa disobek dari si wesel, dan kebetulan ada sobekan wesel yang masih saya simpan di diary.

Sobekan wesel honor cerpen Anita (dokpri)
Sobekan wesel honor cerpen Anita (dokpri)

Honor pertama cerpen saya Rp50.000 (Kisah Cintaku), cerpen kedua turun jadi Rp40.000 (Rasa Benci Itu), cerpen ketiga Rp50.000 (Di Balik Hati Devina) -- Ini tiga cerpen pertama dalam kurun waktu 1992 -- 1994. Memang saya tidak terlalu produktif mengirim karya waktu itu.

Selain menulis di diary, saya juga menuliskan daftar cerpen/naskah yang saya kirim ke media dalam sebuah buku khusus. 

Dari buku itu saya bisa melihat catatan bahwa naskah saya ke Anita yang ditolak adalah naskah keempat yang saya kirimkan.

Jadi wajar kalau saya bilang sebenarnya nggak terlalu jatuh bangun juga saya nembus media dulu (halah), karena pertama kirim langsung dimuat.

Oh iya, bagaimana tahu kalau naskah kita ditolak? Nah, itu baik hatinya redaksi majalah jadul. Naskah kita yang setebal handuk baru itu, akan dikirim balik ke kita, dilengkapi dengan alasan kenapa naskah tersebut tidak layak muat.

Yang sempat saya catat di buku sebagai berikut:

Ketika Vika Beranjak Dewasa -- 17 Agustus 1995 -- Dikembalikan September 1997, alasan: monoton, lambat, bertele-tele.

Kado Ulang Tahun Buat Andry -- 14 Juli 1996 -- Dikembalikan 6 September 1997, alasan: ending biasa-biasa, nggak surprise, terlalu gampang.

Gelang Perak -- 14 Juli 1996 -- Dikembalikan 6 September 1997, alasan: terlalu mengada-ada dan bertele-tele.

Nah, seterusnya ada masa-masa tahun produktif di mana dalam setahun saya menulis 24 naskah untuk dikirim ke media (berarti sebulan kirim dua), tapi yang dimuat ya hanya 2 atau 3 naskah, tapi itu nggak papa buat saya, karena kepuasan menyelesaikan naskah itu lebih utama.

Wah, menuliskan artikel ini dan membaca kembali diary serta buku catatan naskah terkirim, membuat saya jadi pingin nulis lagi di media. Rasanya membaca tulisan kita terpampang di media itu senang sekali, lebih senang lagi kalau honornya sudah cair.

Dua diary di masa remaja dan satu buku catatan naskah (Dokpri)
Dua diary di masa remaja dan satu buku catatan naskah (Dokpri)

Nah, begitulah suka-duka penulis media zaman dahulu. Harus siap mesin ketik, harus selalu sedia kertas, rajin pergi ke kantor pos, tabah jika naskah ditolak dan diberi catatan yang menyakitkan, hahaha. 

Penulis zaman dahulu atau pun zaman sekarang, masing-masing ada tantangannya sendiri. Paling penting adalah bagaimana kita beradaptasi menyesuaikan dengan zaman yang telah berubah. Kalau menulis adalah hobi, kita pasti tetap akan menemukan jalannya walaupun pirantinya berbeda. Tetap semangat dan tetap menulis dengan gembira.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun