Mohon tunggu...
Inamul Hasan
Inamul Hasan Mohon Tunggu... Freelancer - Pegiat Literasi

Santri | Mahasiswa | Researcher | Traveler | Peresensi | Coffee Addict | Interested on History and Classical Novels

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memakai Pakaian Berwarna Kuning dalam Islam, Bolehkah?

19 Mei 2018   12:45 Diperbarui: 24 November 2019   16:58 5117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Uṡmān Al-Dimasyqī  berkata, telah menceritakan kepada kami Isma'īl bin Ayyās dari Syurahbil bin Muslim dari Syuf'ah dari Abdullah bin Amrū bin al-Aṣ ia berkata, "Rasulullah saw. melihatku, -Abu Ali Al Lu`lu`i menyebutkan-, "Menurutku beliau melihat aku mengenakan kain yang dicelup dengan warna kuning. Maka beliau bersabda, "Apa-apaan ini!" Lalu aku pergi dan membakar kain tersebut. Nabi saw. lalu bertanya lagi: "Apa yang engkau lakukan dengan kain milikmu?" Aku menjawab, "Kain itu aku bakar." Beliau bersabda: "Kenapa tidak engkau berikan untuk sebagian isterimu?" Abu Dāwūd berkata, " Ṡaur meriwayatkannya dari Khālid, ia mengatakan, "warna mawar" sedangkan  Ṭawūs mengatakan; "warna kuning." (HR. Abū Dāwūd, No. 3527)

Adapun pemahaman yang berkembang di sebagian masyarakat adalah pelarangan secara utuh untuk memakai pakaian bewarna kuning, terutama bagi laki-laki. Penulis memiliki kesimpulan sementara bahwa terjebaknya para pembaca hadis terhadap terjemahan hadis yang tekstual. Kenapa harus memiliki kesimpulan ‘pelarangan’ memakai pakaian berwarna kuning? Tidak adakah upaya untuk mengetahui alasan Nabi saw. melarang memakai pakaian berwarna kuning pada waktu itu? Dalam hal ini, penulis fokus melihat makna serta kegunaan dari kata za’faraān dan ‘uṣfūr sebagaimana yang ada dalam redaksi hadis.

Tetapi, seiring perkembangan zaman, pakaian berwarna kuning menjadi hal yang biasa dipakai oleh masyarakat pada umumnya. Bahkan, orang yang tekstualis-pun tetap saja memakai pakaian yang berwarna kuning. Maka, di sini penulis perlu mengkaji ulang hadis-hadis yang berkaitan tentang pakaian berwarna kuning tersebut dengan metode pemaknaan hadis yang kemudian dikontekstualisasikan dengan kenyataan yang ada sekarang ini, tentu dengan harapan adanya pemahaman yang ideal supaya tidak terjadi kesalahan dalam memahami hadis Nabi saw.

Untuk langsung ‘menghukum’ bahwa memakai pakaian berwana kuning itu tidak dibolehkan dalam Islam adalah hal yang fatal. Maka, perlu adanya pendekatan kebahasaan, tematik dan sejarah. Dalam pedekatan kebahasaan sebagaimana yang dikutip dalam Lisān al-Arab dan Kamus al-Munjid, bahwasanya za’faran dan ‘ushfur adalah sejenis tumbuhan yang menghasilkan minyak berwarna kuning. Dikatakan juga, minyak tersebut sering digunakan untuk penyedap roti pada zaman dahulu.

Dalam menganalisis hadis secara tematik, ada beberapa catatan besar dalam beberapa hadis di atas. Jika dilihat, ada kesulitan pemahaman hadis tentang memakai pakaian berwarna kuning yang diidentikkan dengan orang kafir. Tetapi, jika melihat sedikit situasi dan kondisi pada saat itu, dimana untuk mendapatkan pakaian saja sudah sulit, apalagi dengan mencelupkan dengan za’faraān dan ‘uṣfūr . Karena menurut sejarahnya, za’faraān dan ‘uṣfūr  adalah tumbuh-tumbuhan yang memiliki harga jual yang tinggi pada saat itu. Adapun hubungannya dengan orang kafir, yaitu jika dikaitkan dengan  orang musyrik yang ada pada waktu itu, di mana mereka selalu menyombongkan diri mereka dengan harta, termasuk dalam berpakaian. Sedikit-banyaknya, di sinilah letak pemahaman atau alasan kenapa pakaian berwarna kuning di-identikkan dengan orang kafir. Untuk pemahaman selanjutnya akan dibahas dalam analisis secara keseluruhan.

Jika dilihat, salah satu tujuan berpakaian adalah untuk mencapai ketakwaan kepada Allah swt. (al-A’raf[7]: 26). Takwa menjadi tujuan utama kepada Allah sebagai bentuk taat dan patuh kepada perintah Allah swt. Maka perlu usaha dalam berpakaian dengan semangat takwa. Sebagai mafhum mukhalafahnya, pakaian yang tidak membawa kepada takut kepada Allah tentu tidak dibolehkan, misal pakaian yang memicu seseorang dapat berbuat sombong.


Adapun sekarang, banyak industri tekstil memproduksi berbagai pilihan warna. Produk tekstil atau kain bahan pakaian, pakaian siap pakai, atau selendang untuk sekarang sudah memiliki warna yang bermacam-macam. Perbedaan warna pada produk tekstil tidak membuat mereka memandang rendahnya nilai warna kuning, dan tidak membuat lemahnya permintaan konsumen. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara warna kuning dengan warna lainnya dalam hal harga. Adapun warna pada pakaian sekarang menjadi alasan pribadi ketertarikan seseorang, bukan karena faktor teologi atau semacamnya. Ketertarikan orang sekarang lebih kepada dasar kain, model, atau trendnya.

Banyaknya produksi seiring dengan banyaknya konsumen, selain mengikuti trend, mode dan mempengaruhi prestise di tengah masyarakat. Warna kuning terkadang menjadi salah satu pilihan warna, kembali lagi bukan karena mahalnya harga warna tekstil warna kuning tersebut melainkan ketertarikan psikologi atau bisa jadi termasuk budaya setempat.

Memang ada sekolompok etnis atau agama yang menjadikan warna kuning ataupun warna yang mendekati kuning sebagai pakaian favorit (ritual) mereka. Tetapi, hal tersebut berangkat dari doktrin teologis. Pakaian tersebut tidak hanya dipandang dari sudut warna saja, melainkan juga dari segi bentuk pakaian tersebut. Dan sekali lagi, identitas tersebut menjadi milik sekolompok etnis agama tertentu, berbeda dengan pakaian yang hanya sekadar berwarna kuning tanpa ada bentuk pakaian yang menyerupai dengan pakaian identitas etnis agama tertentu. Di sisi lain, Islam juga memberikan kewajiban (‘ibādah mahḍah) memakai pakaian berwarna putih dengan bentuk tertentu untuk melaksanakan haji dan umrah.

Di lain sisi, adanya kebolehan bagi perempuan -dalam bebeapa redaksi hadis yang diteliti- di tengah pelarangan bagi laki-laki tersebut bukan sesuatu yang muncul tanpa alasan. Bila diruntut pada sejarah, pada masa Jahiliyyah budaya patriarki begitu kuat di tengah masyarakat Arab. Laki-laki merupakan simbol kehormatan dan kekuasaan. Kebanggaan pada anak laki-laki, garis ayah, dan fanatisme pada syarat kepala suku harus laki-laki. Sedangkan perempuan memiliki ruang gerak yang sempit, hanya di rumah saja (lokal). Bahkan suatu kelahiran perempuan dianggap membawa keburukan. Hal itu menunjukkan begitu rendahnya derajat perempuan dibanding laki-laki. Maka melalui dibolehkannya pakaian berwarna kuning bagi perempuan tersebut dapat dipahami sebagai langkah awal Nabi mengangkat derajat perempuan

Dari beberapa penjelasan di atas, adanya aturan dari Nabi tentang pemakaian pakaian berwarna kuning perlu memperhatikan hal berikut: Pertama, penegasan identitas seorang muslim. Maksudnya, seorang muslim janganlah meniru perbuatan orang kafir dalam berpakaian -dalam hal ini, sombong- sebagaimana konteks dahulu. Maka identitas kesombongan tersebut yang tidak boleh ditiru oleh orang muslim. Kedua, anjuran peduli sosial dan hidup sederhana. Upaya pemberian minyak za’faran ataupun ushfur dianggap sebagai sesuatu yang berharga dikarenakan keduanya memiliki harga jual yang tinggi (dari berbagai sumber) . Kondisi dahulu sangat susah untuk mendapatkan pakaian -sebagaimana dalam beberapa riwayat hadis-, apalagi memberi warna pada pakaian. Ketiga, dari semua hal tersebut secara umum semangat Nabi memberikan aturan dalam pemakaian pakaian berwarna kuning mengandung tujuan sosial dan pendidikan moral bagi manusia. Agar umat Islam terhindar dari gaya hedonisme. Hedonisme merupakan gaya hidup dimana yang dijunjung adalah nilai kesenangan, keagungan, kebanggan dan hidup berlebihan. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan timbul kebiasaan hidup secara berlebihan dan muncul kesombongan. Seorang muslim diharapkan menggunakan pakaian ruhani dan jasmani yang menggambarkan identitasnya. Meskipun demikian Nabi tidak sepenuhnya mengatur dan menentukan mode pakaian tertentu, sehingga setiap masyarakat bisa saja menemukan mode yang sesuai dengan seleranya. Namun aturan yang ditekankan selama gaya hidup tersebut tidak berlebihan dan merugikan siapa pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun