Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Betiang Berenggih": Antara Harmoni dan Kejujuran

4 Oktober 2025   23:38 Diperbarui: 4 Oktober 2025   23:38 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: ntb222.wordpress.com/budaya-sasak/)

Dalam keseharian, kita sering menjumpai orang yang pandai memilih kata. Kritik yang mestinya tajam berubah terdengar halus. Teguran yang seharusnya keras, hadir dengan nada lembut. Fenomena ini kerap disebut sugar coating, atau membungkus realitas dengan bahasa manis.

Namun, dalam budaya Sasak, fenomena ini memiliki akar yang lebih dalam. Orang Sasak mengenalnya dengan istilah betiang berenggih—sikap hati-hati dalam bertutur. Nilai ini lahir dari budaya ewuh pakewuh dan tepa selira, sebagai wujud penghormatan terhadap orang lain dan upaya menjaga harmoni sosial.

Betiang berenggih mencerminkan nilai luhur budaya Sasak yang menekankan kehati-hatian dalam bertutur.

Betiang Berenggih dalam Budaya Sasak

Betiang berenggih bukan sekadar strategi berkomunikasi, melainkan cermin dari identitas budaya Sasak. Masyarakat Sasak meyakini bahwa kata-kata bisa membawa kebaikan, tetapi juga bisa melukai. Karena itu, bahasa dipilih dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan.

Dalam ruang keluarga maupun komunitas desa, sikap ini menjadi pedoman tak tertulis. Anak-anak dididik untuk berbicara dengan santun kepada orang tua, tetangga, dan tokoh masyarakat. Teguran tidak disampaikan dengan kasar, melainkan lewat ungkapan halus yang mudah diterima.

Nilai ini sejalan dengan konsep tepa selira dalam budaya Jawa atau siri’ dalam Bugis, yakni penghormatan terhadap martabat orang lain. Di masyarakat Sasak, betiang berenggih memastikan hubungan sosial tetap terjaga, meski ada perbedaan pendapat atau persoalan mendesak.

Namun, betiang berenggih tidak selalu mudah dijalankan. Dalam praktiknya, ada kalanya bahasa yang terlalu halus membuat pesan inti kehilangan kekuatan. Di titik ini, harmoni yang diupayakan bisa berujung pada hilangnya keberanian untuk menyampaikan kebenaran secara utuh.

Harmoni dan Risiko Bahasa Manis

Bahasa manis dapat menjaga harmoni sosial, tetapi berisiko melahirkan budaya kepura-puraan.

Bahasa manis memang dapat menenangkan suasana. Dalam hubungan sosial, ia bisa menjadi jembatan, bukan jurang. Namun, seperti dikemukakan Harry Frankfurt dalam On Bullshit (2005), bahasa yang tidak mencerminkan kenyataan dapat berubah menjadi kebohongan sistematis.

Dalam birokrasi desa, hal ini sangat terasa. Pendamping desa, misalnya, sering berada dalam dilema. Mereka harus melaporkan kondisi objektif, tetapi juga menjaga hubungan baik dengan kepala desa. Kata-kata yang terlalu keras bisa memicu konflik, sementara bahasa terlalu manis bisa mereduksi kebenaran.

Kebiasaan membungkus masalah dengan kata indah berpotensi melahirkan budaya “pura-pura”. Laporan disusun untuk menyenangkan atasan, bukan mencerminkan fakta. Seperti ditulis Chris Argyris dalam Organizational Traps (2010), rutinitas defensif ini membuat organisasi berjalan di atas ilusi, bukan realitas.

Risiko terbesar adalah hilangnya kepercayaan. Sekali orang menyadari bahwa bahasa manis hanyalah kedok, kredibilitas runtuh. Betiang berenggih yang semula lahir dari nilai luhur bisa bergeser menjadi kebiasaan menutup-nutupi kesalahan demi menjaga citra semu.

Menjaga Nilai, Menghindari Kepalsuan

Keseimbangan antara diplomasi dan kejujuran menjadi kunci komunikasi etis.

Meski sarat risiko, betiang berenggih tetap memiliki tempat penting dalam kehidupan sosial. Ia menjadi bagian dari diplomasi sehari-hari. Deborah Tannen dalam Talking from 9 to 5 (1994) menunjukkan bahwa komunikasi halus mampu meredam konflik dan menciptakan suasana kolaboratif di tempat kerja.

Dalam konteks pendampingan desa, cara menyampaikan kritik sangat menentukan. Alih-alih berkata, “Laporan ini salah,” pendamping bisa memilih ungkapan, “Mungkin ada hal yang bisa diperbaiki agar laporan lebih kuat.” Substansi tetap tersampaikan, tetapi hubungan sosial tidak rusak.

Di sinilah garis batas perlu ditegaskan. Betiang berenggih sah selama ia berfungsi sebagai kemasan komunikasi, bukan penutup kebenaran. Ia membantu menjaga relasi sosial tanpa mengorbankan integritas. Sebagaimana ditegaskan Jürgen Habermas dalam Theory of Communicative Action (1984), komunikasi ideal bertumpu pada keterbukaan dan kejujuran.

Pada akhirnya, betiang berenggih mengajarkan kita seni berbahasa yang bijak.

Kata-kata manis dapat menjadi jembatan persaudaraan, tetapi juga bisa berubah menjadi jebakan kepalsuan. Tantangan kita adalah menjaga keseimbangan: berkata benar dengan cara halus, tanpa kehilangan keberanian untuk jujur.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun