Tulisan ini berangkat dari percakapan singkat dengan dua sahabat terbaik saya, Dr. (c) Dedi Kusumawardani, dalam dua kesempatan berbeda—di Situ Gintung dan di depan UIN Syahid Jakarta bersama Dr. Amin Bima. Meski diskusi kala itu sempat menemui kebuntuan, justru dari sanalah lahir dorongan untuk menata ulang kegelisahan arah gerakan sosial.
Percakapan tersebut membuka ruang refleksi yang lebih luas. Ia mengingatkan bahwa aktivisme di era media sosial—menurut saya, tidak bisa dilepaskan dari pergulatan ideologis yang mendalam. Simbol-simbol viral memang penting sebagai bahasa zaman, tetapi tanpa fondasi gagasan, gerakan sosial akan kehilangan arah dan kedalaman.
Teori vernakuler menjelaskan bahwa ekspresi, bahasa, dan praktik sehari-hari masyarakat memiliki nilai sebagai bentuk pengetahuan sekaligus politik. Vernakularisasi berarti menerjemahkan ideologi besar ke dalam bahasa dan simbol akrab, sehingga gagasan kritis dapat hadir dalam format populer yang mudah dipahami publik.
Bahasa Instan dan Ruang Baru Aktivisme
Di ruang publik digital, gerakan sosial di Indonesia semakin kerap tampil dalam bentuk simbolik, ringan, dan viral. Joget pejabat, pakaian, atau tunjangan lebih cepat mendominasi percakapan ketimbang perdebatan mendalam tentang arah pembangunan bangsa. Fenomena ini, jika dilihat dari kacamata teori vernakuler, menunjukkan bagaimana bahasa sehari-hari masyarakat di media sosial membentuk wajah aktivisme kontemporer.
Media sosial menciptakan ekspresi baru: gerakan kini tidak lahir dari ruang kaderisasi formal, melainkan dari interaksi instan di TikTok, Instagram, dan YouTube. Unggahan singkat atau meme politik menjadi “narasi vernakuler” yang dengan mudah dipahami publik. Namun, kemudahan itu juga menimbulkan risiko: ideologi dan strategi jangka panjang terpinggirkan oleh kebutuhan viral yang serba cepat.
Vernakularisasi Ideologi: Belajar dari China
Pelajaran berbeda datang dari China. Negeri itu berani membongkar dan merakit ulang ajaran Mao dengan kapitalisme pragmatis. Deng Xiaoping menyederhanakan ideologinya dengan metafora sehari-hari—“tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting mereka bisa menangkap tikus.” Kalimat ini adalah contoh vernakularisasi ideologi: gagasan besar yang diterjemahkan dalam bahasa sederhana agar mudah diterima masyarakat.
Ezra Vogel (2011) menekankan bahwa kekuatan reformasi Deng justru terletak pada keberanian menyentuh fondasi, bukan sekadar isu permukaan. Xi Jinping kemudian melanjutkan dengan “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok,” sebuah bentuk lain dari penyesuaian ideologi yang tetap berpijak pada basis kebangsaan, tetapi menggunakan bahasa politik yang bisa dipahami rakyatnya. Vernakuler di sini tidak instan, melainkan hasil olahan panjang, konsisten, dan berorientasi pada perubahan struktural.
Sebaliknya, di Indonesia, energi besar kerap terkuras hanya karena bendera terbalik atau isu viral sesaat. Fenomena ini mencerminkan perbedaan: di satu sisi vernakularisasi ideologi yang strategis, di sisi lain vernakularisasi instan yang dangkal.
Fragmentasi Gerakan: Vernakuler yang Terjebak Viral
Media sosial memang memberi ruang luas bagi partisipasi, tetapi partisipasi ini sering episodik. Merlyna Lim (2013) menyebut fenomena ini sebagai many clicks but little sticks: banyak yang tergerak, tetapi sedikit yang berlanjut menjadi perubahan nyata. Vernakularisasi gerakan dalam bentuk meme, video pendek, atau sindiran lucu lebih mudah diterima publik, tetapi juga membuat gerakan tercerai-berai tanpa arah yang jelas.
Herbert Feith (1962) sudah lama mengingatkan bahwa tanpa fondasi ideologis, gerakan mudah terjebak tarik-menarik pragmatis. Kini, vernakularisasi aktivisme yang hanya menekankan viralitas menyingkirkan diskusi serius tentang ketimpangan agraria, kedaulatan pangan, atau reformasi pendidikan. Publik lebih mengenal aksi simbolik ketimbang gagasan besar, karena yang beredar adalah narasi instan yang mudah diproduksi dan dikonsumsi.