Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aktivisme Instan di Era Media Sosial: Membaca Gerakan dengan Teori Vernakuler

9 September 2025   18:56 Diperbarui: 10 September 2025   15:50 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: Image by freepik)

Tulisan ini berangkat dari percakapan singkat dengan dua sahabat terbaik saya, Dr. (c) Dedi Kusumawardani, dalam dua kesempatan berbeda—di Situ Gintung dan di depan UIN Syahid Jakarta bersama Dr. Amin Bima. Meski diskusi kala itu sempat menemui kebuntuan, justru dari sanalah lahir dorongan untuk menata ulang kegelisahan arah gerakan sosial.

Percakapan tersebut membuka ruang refleksi yang lebih luas. Ia mengingatkan bahwa aktivisme di era media sosial—menurut saya, tidak bisa dilepaskan dari pergulatan ideologis yang mendalam. Simbol-simbol viral memang penting sebagai bahasa zaman, tetapi tanpa fondasi gagasan, gerakan sosial akan kehilangan arah dan kedalaman.

Teori vernakuler menjelaskan bahwa ekspresi, bahasa, dan praktik sehari-hari masyarakat memiliki nilai sebagai bentuk pengetahuan sekaligus politik. Vernakularisasi berarti menerjemahkan ideologi besar ke dalam bahasa dan simbol akrab, sehingga gagasan kritis dapat hadir dalam format populer yang mudah dipahami publik.

Bahasa Instan dan Ruang Baru Aktivisme

Di ruang publik digital, gerakan sosial di Indonesia semakin kerap tampil dalam bentuk simbolik, ringan, dan viral. Joget pejabat, pakaian, atau tunjangan lebih cepat mendominasi percakapan ketimbang perdebatan mendalam tentang arah pembangunan bangsa. Fenomena ini, jika dilihat dari kacamata teori vernakuler, menunjukkan bagaimana bahasa sehari-hari masyarakat di media sosial membentuk wajah aktivisme kontemporer.

Media sosial menciptakan ekspresi baru: gerakan kini tidak lahir dari ruang kaderisasi formal, melainkan dari interaksi instan di TikTok, Instagram, dan YouTube. Unggahan singkat atau meme politik menjadi “narasi vernakuler” yang dengan mudah dipahami publik. Namun, kemudahan itu juga menimbulkan risiko: ideologi dan strategi jangka panjang terpinggirkan oleh kebutuhan viral yang serba cepat.

Vernakularisasi Ideologi: Belajar dari China

Pelajaran berbeda datang dari China. Negeri itu berani membongkar dan merakit ulang ajaran Mao dengan kapitalisme pragmatis. Deng Xiaoping menyederhanakan ideologinya dengan metafora sehari-hari—“tidak peduli kucing hitam atau putih, yang penting mereka bisa menangkap tikus.” Kalimat ini adalah contoh vernakularisasi ideologi: gagasan besar yang diterjemahkan dalam bahasa sederhana agar mudah diterima masyarakat.

Ezra Vogel (2011) menekankan bahwa kekuatan reformasi Deng justru terletak pada keberanian menyentuh fondasi, bukan sekadar isu permukaan. Xi Jinping kemudian melanjutkan dengan “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok,” sebuah bentuk lain dari penyesuaian ideologi yang tetap berpijak pada basis kebangsaan, tetapi menggunakan bahasa politik yang bisa dipahami rakyatnya. Vernakuler di sini tidak instan, melainkan hasil olahan panjang, konsisten, dan berorientasi pada perubahan struktural.

Sebaliknya, di Indonesia, energi besar kerap terkuras hanya karena bendera terbalik atau isu viral sesaat. Fenomena ini mencerminkan perbedaan: di satu sisi vernakularisasi ideologi yang strategis, di sisi lain vernakularisasi instan yang dangkal.

Fragmentasi Gerakan: Vernakuler yang Terjebak Viral

Media sosial memang memberi ruang luas bagi partisipasi, tetapi partisipasi ini sering episodik. Merlyna Lim (2013) menyebut fenomena ini sebagai many clicks but little sticks: banyak yang tergerak, tetapi sedikit yang berlanjut menjadi perubahan nyata. Vernakularisasi gerakan dalam bentuk meme, video pendek, atau sindiran lucu lebih mudah diterima publik, tetapi juga membuat gerakan tercerai-berai tanpa arah yang jelas.

Herbert Feith (1962) sudah lama mengingatkan bahwa tanpa fondasi ideologis, gerakan mudah terjebak tarik-menarik pragmatis. Kini, vernakularisasi aktivisme yang hanya menekankan viralitas menyingkirkan diskusi serius tentang ketimpangan agraria, kedaulatan pangan, atau reformasi pendidikan. Publik lebih mengenal aksi simbolik ketimbang gagasan besar, karena yang beredar adalah narasi instan yang mudah diproduksi dan dikonsumsi.

Dari Vernakuler Instan Menuju Vernakuler Kritis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun