Musyawarah desa kerap menjadi ruang paling riuh. Warga berkumpul, suara beradu, dan gagasan bertubrukan. Namun, tak jarang forum berakhir tanpa kesepakatan. Perdebatan panjang membuat energi terkuras, sementara masalah inti justru tak tersentuh. Kebuntuan inilah yang sering muncul.
Pendamping desa tentu mengenali situasi ini. Misalnya, saat warga membicarakan soal "kesejahteraan desa". Sebagian mengartikannya sebagai peningkatan pendapatan, sementara yang lain menekankan keamanan sosial. Ketika definisi tidak seragam, percakapan jadi terjebak dalam lingkaran tak produktif.
Ward Farnsworth dalam The Socratic Method (2017) menulis, hampir semua perdebatan runtuh di titik definisi. Orang tampak berselisih keras, padahal yang berbeda hanyalah makna istilah. Jika makna diperjelas, percakapan sering kali lebih singkat, jernih, dan terarah.
Kebuntuan musyawarah di desa kerap terjadi bukan karena warga enggan mencari solusi, melainkan karena mereka memakai bahasa berbeda untuk menyebut hal yang sama. Pendamping desa perlu memahami hal ini agar forum tidak berubah menjadi ajang kelelahan kolektif.
Di sinilah Socrates menawarkan jalan keluar. Filosofi yang lahir ribuan tahun lalu tetap relevan hingga kini, bahkan untuk forum sederhana di balai desa. Jalan keluar itu adalah keberanian untuk bertanya kembali: apa maksudmu dengan itu?
Socrates dan Seni Kembali ke Definisi
Socrates tidak pernah memberi jawaban instan. Ia justru mengajukan pertanyaan sederhana untuk menggali arti kata. Pertanyaan seperti "Apa yang kamu maksud dengan keadilan?" atau "Bagaimana kamu mendefinisikan kebahagiaan?" menjadi titik awal percakapan jernih.
Dalam konteks desa, pendamping desa bisa meniru langkah ini. Ketika forum buntu membicarakan "pembangunan berkelanjutan", ia bisa bertanya: "Apakah pembangunan berkelanjutan yang kita maksud, soal infrastruktur fisik, atau perlindungan lingkungan?" Pertanyaan ini segera menjernihkan arah diskusi.
Gregory Vlastos dalam Socrates: Ironist and Moral Philosopher (1991) menjelaskan, seni Socrates adalah menyingkap kerancuan bahasa. Alih-alih menuntut kesepakatan cepat, ia menolong lawan bicara menyadari bahwa mereka bicara tentang hal berbeda meski memakai kata yang sama.
Pendamping desa tidak harus menjadi orang yang paling tahu. Justru, dengan bertanya tentang definisi, ia memposisikan diri sebagai fasilitator. Perannya adalah membantu warga menemukan makna bersama, bukan memaksakan makna pribadi.
Dengan demikian, forum yang semula buntu berubah menjadi ruang refleksi. Orang menyadari bahwa perbedaan tidak selalu soal isi, melainkan soal bahasa. Dari kejernihan bahasa inilah, jalan keluar perdebatan perlahan terbuka.