Sudah lama desa memimpikan kemandirian ekonomi yang tak bergantung pada anggaran tahunan semata. Ketika pintu pinjaman dibuka melalui koperasi desa dengan jaminan Dana Desa, secercah harapan mulai menyala di berbagai penjuru pelosok.
Gagasan ini tak datang dari ruang kosong. Ketimpangan akses permodalan antara desa dan kota telah lama menjadi dinding penghalang. Banyak koperasi desa yang hendak menyalurkan pembiayaan produktif justru tersandera syarat agunan yang tak mampu mereka penuhi.
Melalui terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025, pemerintah membuka peluang bagi koperasi desa/kelurahan—dikenal sebagai KopDes/Kel Merah Putih—untuk memperoleh pinjaman dari bank dengan jaminan maksimal 30 persen Dana Desa. Respon positif pun bermunculan, diiringi bayangan tentang geliat UMKM lokal, sentra produksi rumahan, dan ekonomi gotong royong yang tumbuh dari desa.
Namun seperti semua jalan baru, rintangan tak bisa dihindari. Tak semua desa siap secara kelembagaan, mentalitas, dan administrasi dalam mengelola risiko pinjaman yang melibatkan uang negara dalam jumlah besar.
Siapa yang tak tertarik pada pinjaman hingga Rp 3 miliar dengan bunga ringan enam persen per tahun? Dalam benak banyak orang, skema ini tampak seperti napas baru, terlebih bagi desa-desa yang selama ini terpinggirkan dari sistem perbankan.
Dengan Dana Desa sebagai jaminan sesuai PMK 49/2025, koperasi bisa mengakses modal tanpa harus menggadaikan aset tetap yang memang tak dimiliki. Bahkan usaha embrio pun bisa tumbuh, jika didukung tata kelola koperasi yang sehat dan berbasis partisipasi warga.
Namun, tantangan datang dari dalam. Di banyak tempat, koperasi desa masih sekadar papan nama. Pembukuan tidak berjalan, keanggotaan pasif, dan akuntabilitas rendah. Tanpa pembenahan mendasar, skema jaminan Dana Desa justru berpotensi menjadi beban kolektif di kemudian hari.
Itulah sebabnya, keterbukaan informasi, pelibatan masyarakat, dan transparansi pengelolaan harus menjadi pijakan utama. Jika tidak, kesalahan kecil bisa memunculkan konflik sosial yang besar—terlebih jika Dana Desa harus ‘menanggung’ kegagalan pinjaman.
Potensi besar skema ini tak bisa dipisahkan dari kewaspadaan kolektif. Pemberdayaan tanpa penguatan kelembagaan hanya akan menyisakan jejak kekecewaan dalam sejarah pembangunan desa.
Penggunaan Dana Desa sebagai jaminan memang sah secara regulasi, tetapi konsekuensinya tidak ringan. Meski dibatasi maksimal 30 persen dari saldo, Dana Desa adalah uang publik. Risikonya bersifat sosial, bukan sekadar angka dalam neraca koperasi.