Di sela kegiatan monitoring data e-HDW, seorang admin desa melempar candaan, “Awas, rekening nganggur bisa diblokir!” Candaan yang semula hanya dianggap lelucon, pelan-pelan menjelma menjadi diskusi serius di antara para Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) dan admin desa lainnya.
Beberapa dari mereka mulai mengaitkan wacana itu dengan tabungan mereka sendiri—uang hasil menabung bertahun-tahun, sisa kiriman dari anak di rantau, atau sekadar dana darurat jika sewaktu-waktu dibutuhkan. “Kalau tidak sering dipake, apa uang itu lantas dianggap mencurigakan?” begitu salah satu keluhan yang muncul.
Sebagian warga desa, terutama para orang tua, memang tidak terbiasa melakukan transaksi digital rutin. Uang mereka disimpan di bank agar aman dan mudah diakses saat diperlukan. Rekening itu bisa saja tampak ‘tidak aktif’ dalam waktu tertentu, padahal niatnya semata-mata untuk berjaga-jaga.
Salah satu kekhawatiran paling menonjol datang dari admin desa yang juga calon jemaah haji. Ia menyimpan uang untuk keperluan sangu menjamu peziarah. Di Lombok dan banyak daerah lain, tradisi ini masih kuat, warga yang hendak naik haji biasanya akan diziarahi oleh keluarga dan tetangga selama sebulan, bahkan dua bulan sebelum keberangkatan.
Mereka membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menjamu tamu, menyediakan makanan, dan kadang menggelar pengajian. Uang tersebut bukan untuk setoran haji, tetapi sebagai bagian dari budaya yang sangat lekat dengan identitas sosial dan spiritual masyarakat desa.
Kebijakan pemblokiran rekening pasif memang bertujuan baik yakni, mencegah pencucian uang, penyalahgunaan rekening oleh pihak ketiga, dan mempersempit ruang gerak kejahatan finansial. Namun, ketika kebijakan tersebut diimplementasikan secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks sosial, maka yang muncul justru ketidakadilan.
Warga desa yang hidup sederhana, yang tidak punya kebiasaan bertransaksi secara digital, justru menjadi pihak yang paling rentan terkena imbas. Rekening yang tampak ‘tidak aktif’ menurut sistem perbankan, bisa jadi adalah satu-satunya tempat aman menyimpan uang hasil panen atau kiriman anak dari luar negeri.
Di sisi lain, literasi keuangan di desa belum sepenuhnya merata. Tidak semua paham bahwa rekening harus ‘aktif’ agar tidak diblokir. Mereka tidak tahu bahwa menyimpan uang tanpa transaksi selama waktu tertentu bisa dianggap mencurigakan, padahal tidak ada niat jahat sedikit pun.
Bagi warga yang terbiasa menyimpan uang untuk keperluan penting dalam satu-dua tahun ke depan, tindakan pemblokiran rekening terasa seperti pelanggaran hak atas pengelolaan keuangan pribadi. Terlebih jika dana yang diblokir jumlahnya besar, dan proses mengurusnya memakan waktu serta tenaga.
Tradisi menyimpan uang dalam jangka panjang bukan hal baru. Di desa, orang menabung tidak hanya untuk membeli sesuatu, tapi juga untuk menjaga martabat—seperti dalam peristiwa menjamu tamu sebelum naik haji, atau untuk biaya sekolah anak, bahkan sekadar untuk membeli ternak menjelang hari raya kurban atau musim kawin tiba.
Kebijakan ini juga menimbulkan ketakutan baru, bahwa negara bisa sewaktu-waktu mengakses, menilai, bahkan membatasi akses terhadap uang pribadi warga tanpa prosedur yang jelas di mata mereka. Hal ini menggerus kepercayaan warga terhadap sistem keuangan yang seharusnya mereka percayai dan gunakan.
Memang, secara prosedural, rekening yang diblokir bisa kembali diaktifkan. Nasabah dapat mengajukan permohonan pembukaan blokir ke pihak bank dengan membawa identitas diri, menjelaskan sumber dana, serta alasan mengapa rekening tersebut tampak tidak aktif dalam jangka waktu tertentu.
Namun, proses ini tidak serta merta mudah bagi warga desa. Jarak ke kantor bank, keterbatasan akses transportasi, belum lagi birokrasi yang rumit, membuat proses ini menjadi beban tersendiri. Belum tentu mereka paham dokumen apa yang perlu dibawa, atau bagaimana menjelaskan kondisi finansial mereka kepada pihak bank.
Tidak sedikit yang akhirnya memilih menyerah, atau membiarkan uang mereka ‘terkunci’ karena takut dianggap melakukan kesalahan. Rasa tidak percaya terhadap sistem bertambah, dan mereka pun mencari cara lain untuk menyimpan uang, kadang kembali ke metode tradisional yang justru berisiko lebih besar: menyimpan di bawah kasur, di celengan, atau menitipkan pada orang lain.
Kita juga perlu jujur mengakui bahwa tidak semua aparat atau pegawai bank di daerah punya sensitivitas terhadap situasi sosial semacam ini. Ketika seorang petani atau buruh migran datang dengan pakaian sederhana, membawa tabungan Rp5 juta yang sudah ia kumpulkan setahun, seharusnya disambut dengan empati, bukan curiga.
Kebijakan yang sejatinya ditujukan untuk kebaikan bersama, harus dilengkapi dengan kemampuan negara menjelaskan secara persuasif, serta membangun sistem yang adaptif terhadap realitas sosial. Jika tidak, yang muncul bukan hanya ketakutan, tapi juga ketimpangan yang semakin dalam.
Sebagai pendamping desa, kami tidak bisa tinggal diam melihat kebingungan ini. Di tengah keterbatasan literasi digital dan keuangan warga, kami berusaha menjembatani komunikasi antara desa dan sistem yang lebih besar. Kami menjelaskan bahwa niat baik pemerintah bisa menjadi bumerang jika tidak disampaikan secara tepat.
Namun kami pun menyadari, menjadi penengah tidaklah mudah. Saat warga mulai mempertanyakan kenapa negara mengatur rekening pribadi mereka, kami pun kesulitan menjawab dengan bahasa yang bisa mereka pahami dan terima. Penjelasan hukum dan regulasi tak selalu bisa diterjemahkan dalam logika keseharian mereka.
Kami yakin, pemblokiran rekening yang dianggap “tidak aktif” memang menjadi langkah pencegahan kejahatan keuangan, namun implementasinya perlu mempertimbangkan konteks sosial masyarakat desa. Banyak warga menyimpan uang dengan tujuan mulia seperti biaya menjamu peziarah haji atau tabungan darurat keluarga.
Jika tidak disertai edukasi dan perlindungan yang adil, kebijakan ini bisa melukai kepercayaan publik terhadap sistem keuangan formal. Pemerintah dan lembaga terkait perlu membuka ruang dialog agar langkah pengawasan keuangan tetap selaras dengan realitas hidup masyarakat desa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI