Di tengah kebun nan gelap, seorang laki-laki muda tampak mengendap-endap. Suara dedaunan berderak-derak, langkahnya menerjang genangan. Ia kelihatan awas sekaligus waswas, sesekali ia berhenti memastikan tak ada orang di sekitarnya. Tatapan matanya cemas, langkahnya terburu-buru. Tujuannya, rumah sang belian.
Ketegangan itu membuka “Bebadong”, film pendek berdurasi sekitar 20 menit ini. Sebuah film dengan genre horor komedi yang mencoba menyampaikan pesan serius melalui kisah-kisah mistik, kelam, sekaligus lucu. Film yang dipersembahkan oleh ADBMI Foundation ini membawa penonton pada perjalanan absurd calon pekerja migran yang bersikeras berangkat ke luar negeri lewat jalur ilegal, berbekal keyakinan pada bebadong.
Sebagai pendamping desa, kisah seperti ini bukan fiksi belaka. Banyak warga desa, khususnya di wilayah-wilayah dengan tingkat migrasi tinggi seperti Lombok, yang terjebak pada sirkuit migrasi ilegal karena himpitan ekonomi dan minimnya perlindungan sistemik. Dalam film ini, realitas itu dibungkus satire dan nuansa supranatural, tetapi tak menghilangkan esensi masalahnya.
Karakter nenek belian—yang menjadi simbol pusat harapan dan solusi jalan pintas—diperlihatkan sangat berkuasa, bahkan melebihi logika hukum dan agama. Ia menjanjikan keselamatan, kekayaan, dan kemudahan melalui bebadong, bahkan bekerja sama dengan tekong pengirim pekerja ilegal. Dunia supranatural dan sistem bayangan ini bukan sekadar bumbu horor, tetapi cermin nyata ketimpangan informasi dan pendidikan di desa.
Bebadong: Antara Kepercayaan, Kemiskinan, dan Tekanan Sosial
Istilah bebadong dalam bahasa Sasak merujuk pada jimat atau pegangan gaib yang diyakini memberi perlindungan dan kekuatan. Dalam konteks migrasi, bebadong bukan sekadar benda, tapi simbol harapan dan perlawanan dari mereka yang terpinggirkan dan tak memiliki akses perlindungan formal dari negara.
Sementara itu, belian adalah sebutan bagi dukun dalam tradisi masyarakat Sasak. Ia dipercaya sebagai perantara antara manusia dan kekuatan supranatural. Dalam banyak kasus, belian menjadi rujukan terakhir ketika akal sehat dan hukum formal dianggap tak mampu menyelesaikan persoalan hidup, termasuk nasib pekerja migran.
Dari pengalaman mendampingi warga desa, banyak calon pekerja migran yang akhirnya lebih percaya pada jalur tidak resmi karena dirasa lebih cepat, murah, dan tanpa ribet. Film ini menangkap ketegangan itu dengan humor pahit: antrean orang-orang miskin menunggu ‘jimat’ di rumah dukun, berharap bisa segera ke Malaysia dan menjadi kaya. Dialog dan ekspresi para tokoh terasa familiar, seperti cuplikan hidup sehari-hari di dusun-dusun pinggiran.
Film pendek ini menyinggung pula soal bantuan sosial pemerintah untuk TKI korban kecelakaan. Ketika istri dari korban mendatangi petugas untuk pencairan bantuan, ia ditolak hanya karena suaminya dulu berangkat secara ilegal. Potret ini menyentil langsung bagaimana regulasi negara sering kali menutup mata terhadap realitas dan kerentanan warga desa.
Sebagai pendamping desa, situasi seperti ini sering kali dilematis. Di satu sisi, kita diminta menyosialisasikan jalur migrasi resmi dan prosedural. Namun di sisi lain, sistem desa, desa-desa tertinggal, dan perangkatnya kerap tak cukup punya daya untuk benar-benar melindungi warganya dari bujuk rayu tekong dan janji palsu.
Ketika Desa Tak Lagi Aman: Bebadong Menggantikan Negara
Film ini, meskipun dibalut dalam genre horor komedi, menjadi kritik serius atas ketidakhadiran negara di titik-titik paling genting kehidupan rakyatnya. Dalam banyak adegan, warga desa justru bersandar pada belian, bukan kepala desa. Mereka percaya pada bebadong, bukan pada sistem perlindungan migran. Mereka antre pada sang nenek, bukan di Balai Latihan Kerja.