Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Melihat Rumah Subsidi Lewat Kacamata Pendamping Desa

19 Juni 2025   09:14 Diperbarui: 23 Juni 2025   00:07 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pendamping desa, kami menyaksikan langsung betapa jauhnya wacana rumah subsidi dari kehidupan masyarakat desa. Rumah subsidi seolah hanya dirancang untuk masyarakat kota, terutama pekerja formal berpenghasilan rendah di kawasan industri atau pinggiran urban.

Sementara di desa, kebutuhan akan rumah layak huni tidak kalah penting. Banyak pasangan muda yang ingin mandiri, tapi belum mampu membangun rumah sendiri. Mereka tak punya slip gaji, namun bukan berarti tak mampu mencicil. Mereka hidup dari upah harian, hasil panen, atau jual beli kecil-kecilan.

Program pemerintah seperti Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) selama ini hanya menyentuh rumah-rumah tidak layak huni. Program itu penting, tapi tidak cukup. Sebab generasi baru di desa yang belum punya rumah sama sekali butuh akses terhadap rumah yang bisa mereka miliki sendiri.

Ekspektasi kami sebagai pendamping desa terhadap rumah subsidi sangat sederhana: program ini harus hadir di desa, bukan hanya di kota atau di pinggir kota. Rumah subsidi laiknya harus bisa diakses oleh mereka yang lahannya tersedia tapi tak punya cukup dana untuk membangun, dan sistem cicilannya menyesuaikan dengan logika ekonomi desa.

Cicilan Ringan atau Tanah Sendiri: Desa Butuh Skema Khusus

Pemerintah melalui Kementerian PKP merencanakan rumah subsidi dengan ukuran 18 meter persegi di atas lahan 25 meter persegi, dengan cicilan sekitar Rp 600 ribu per bulan. Bagi desa, tawaran ini akan terdengar masuk akal bila disesuaikan dengan realitas lokal.

Di desa, sebagian besar keluarga memiliki tanah walau sempit. Daripada pemerintah membeli lahan jauh di pinggir kota, mengapa tidak mengadopsi skema subsidi berbasis lahan warga? Pemerintah cukup membangunkan unit rumah standar yang layak, lalu warga mencicilnya sesuai kemampuan.

Ekspektasi pendamping desa terhadap rumah subsidi tidak sekadar soal ukuran dan harga. Lebih dari itu, bagaimana rumah subsidi bisa mengadopsi pendekatan yang partisipatif dan memberdayakan, misalnya melibatkan tukang lokal, menggunakan material setempat, dan dikerjakan dengan sistem padat karya tunai desa (PKTD).

Selain itu, skema pembiayaan harus lentur. Jangan meniru bank konvensional. Warga desa bisa mencicil per musim panen, bukan per bulan. Bisa juga lewat skema gotong royong berbasis kelompok seperti simpan pinjam, koperasi desa, atau dukungan BUMDes maupun koperasi desa.

Jika hal ini diterapkan, maka rumah subsidi tak hanya hadir sebagai hunian, tetapi juga menjadi alat pembangunan ekonomi lokal yang berkeadilan dan kontekstual.

Rumah Layak, Bukan Sekadar Murah

Di banyak tempat, kualitas bangunan rumah subsidi menjadi kekhawatiran utama. Pendamping desa sering kali mendapat keluhan dari warga yang mengikuti program perumahan, terutama soal tembok yang mudah retak, lantai yang mengelupas, hingga saluran air yang tidak berfungsi.

Ekspektasi kami, rumah subsidi idaman bagi warga desa bukan sekadar murah. Tapi benar-benar layak huni seperti cukup ventilasi, ada akses air bersih, tahan hujan dan angin, dan tidak membahayakan penghuninya. Rumah adalah tempat tumbuhnya generasi, bukan sekadar ruang berlindung.

Sistem pengawasan pembangunan harus diperketat, dan pendamping desa bisa dilibatkan dalam pengawasan sosial untuk memastikan kualitas bangunan sesuai standar. Pemerintah juga perlu menyesuaikan desain dengan lingkungan desa agar rumah tidak terlihat seperti potongan beton yang diimpor dari kota.

Warga desa punya cita rasa arsitektur sendiri—atap tinggi, halaman untuk berkebun, ruang tamu terbuka untuk menerima tetangga. Rumah subsidi di desa harus menjawab kebutuhan itu, bukan justru membuat warganya merasa terasing di rumah sendiri.

Rumah Subsidi di Desa: Dari Asa Jadi Agenda

Sudah saatnya pemerintah tidak lagi menempatkan rumah subsidi sebagai program eksklusif untuk kawasan urban. Warga desa berhak mendapatkan fasilitas serupa dengan skema yang berbeda. Ekspektasi kami sebagai pendamping desa adalah desa tidak hanya dapat bantuan bedah rumah, tapi juga rumah subsidi.

Program seperti BSPS selama ini penting, tapi terbatas. Ia menyasar rumah yang sudah ada, bukan yang belum pernah dibangun. Maka program rumah subsidi berbasis desa adalah keharusan baru—bagi generasi muda desa, bagi buruh tani, bagi pedagang kecil yang ingin rumah sendiri.

Pemerintah bisa mulai dengan pilot project rumah subsidi desa berbasis tanah milik warga, yang dibangun oleh pengembang lokal, BUMDes atau koperasi desa. Cicilan disesuaikan dengan penghasilan dan ritme ekonomi desa. Ini bukan mimpi, ini soal kemauan politik dan keberpihakan.

Rumah subsidi idaman, bagi kami yang mendampingi desa, bukan hanya bangunan fisik. Tapi simbol kehadiran negara di akar rumput. Rumah yang layak, terjangkau, dibangun di tanah sendiri, dan membentuk keluarga yang kuat dan bermartabat di kampung halaman mereka sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun