Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah menyasar anak-anak sekolah dengan harapan mengurangi stunting, memperkuat gizi, dan membentuk generasi unggul. Namun, hingga kini, satu komunitas pendidikan penting tampaknya masih menanti giliran: pesantren.
Di banyak daerah, termasuk di Lombok, diskusi-diskusi kecil di kalangan para kiai dan pimpinan pondok kerap diselingi pertanyaan yang tak kunjung terjawab: kapan pesantren ikut merasakan manfaat MBG? Tanda tanya ini bukan sekadar keluhan, tapi kegelisahan yang bernalar.
Dalam pertemuan beberapa pimpinan pesantren yang terhimpun dalam HUPPAZ (Himpunan Alumni Pondok Pesantren Al-Aziziyah), pertanyaan itu mengemuka secara gamblang. Mereka bukan memohon belas kasihan negara, tetapi mempertanyakan keadilan distribusi bantuan negara terhadap lembaga pendidikan berbasis asrama.
Spekulasi pun berkembang. Ada yang pesimistis, menyebut bahwa pesantren kerap dilupakan. Ada pula yang menyangka negara menganggap pesantren cukup mampu membiayai kebutuhan makannya. Namun sebagian besar masih memilih bersikap positif, menunggu waktu yang dianggap “tepat”.
Pandangan Kritis dari Para Tuan Guru
Menariknya, tidak semua pengasuh pesantren serta Tuan Guru bersikap antusias terhadap Program MBG. Beberapa di antaranya justru menolaknya secara halus, bukan karena tidak peduli terhadap gizi santri, melainkan karena mempertimbangkan kebermanfaatannya atau—dalam bahasa mereka—kemaslahatan dalam konteks lebih luas.
Mereka berpandangan, daripada memberi makan gratis, akan lebih baik bila pemerintah fokus membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Jika orang tua para santri punya pekerjaan tetap dengan penghasilan layak, maka anak-anak akan tercukupi makanannya secara mandiri.
Ada pula yang menyoroti realitas selera makan anak-anak. Tidak semua anak berselera terhadap makan siang formal. Banyak santri lebih menyukai camilan ringan atau kudapan yang mereka konsumsi sambil belajar atau mengaji di sela waktu. Makan besar justru kerap ditinggal.
Berdasarkan itu, sebagian kiai mengusulkan agar Program MBG dialihkan atau dilengkapi dengan penyediaan camilan sehat dan susu yang benar-benar bergizi. Selain lebih fleksibel, ini juga lebih mudah didistribusikan tanpa mengganggu waktu belajar dan aktivitas pesantren.
Argumen-argumen ini menunjukkan bahwa persoalan gizi tidak bisa diseragamkan. Pesantren memiliki karakter unik yang menuntut pendekatan berbeda. Karena itu, penting bagi negara untuk mendengar aspirasi dan kearifan lokal dari para Tuan Guru dan pengelola pesantren.
Mengapa Pesantren Tak Bisa Diabaikan
Pesantren adalah pilar pendidikan yang bukan hanya mendidik akal, tetapi juga akhlak, spiritualitas, dan ketahanan hidup. Santri-santri tinggal di dalam pesantren, bergantung penuh pada kebijakan dapur pondok untuk asupan harian mereka.