Temanjor-Kapek, sebuah kawasan yang terletak di Gunungsari, Lombok Barat, menyimpan cerita yang tak hanya tentang ruang, tetapi juga perjalanan rohani. Di sinilah berdiri Pesantren Tahfidz An-Nawawi—dulunya Rumah Tahfidz. Lokasinya berbatasan langsung dengan Pondok Pesantren Al-Aziziyah, hanya dipisahkan jalan kampung yang mengalirkan pejalan kaki dan pengingat masa lalu.
Saat nyantri di Al-Aziziyah, kami sering melewati jalan itu. Mendatangi rumah yang menjadi cikal bakal pesantren An-Nawawi, sekadar numpang mandi, atau kadang datang bersilaturahmi saat pulang mudik dari perantauan. Bagi sebagian orang, tempat ini hanyalah titik di peta; bagi yang lain, ini adalah rumah rohani.
Pondok ini berdiri di tengah pemukiman padat, diapit rumah-rumah semi mewah dan pondokan As-Sathiri milik Al-Aziziyah. Akses ke pesantren ini lebih dari sekadar jalan masuk. Ia adalah jalur batin yang menghubungkan sejarah keluarga dengan hasrat membangun peradaban Qur’an. Setiap bata yang disusun seolah menyimpan harapan dan doa.
Pondok ini didirikan oleh Ustadz Muhammad Alwi bersama adiknya, Haji Ahmad Nawawi, berangkat dari inisiatif keluarga besar Haji Abdul Ghani dan Hj. Nurhasanah. Namun, akar kelahirannya sesungguhnya berasal dari ikhtiar besar gerakan Rumah Tahfidz Seribu Masjid yang digagas kolektif oleh para alumni Al-Aziziyah.
Gerakan Rumah Tahfidz Seribu Masjid bertujuan membangun jaringan tahfidz di seantero Lombok, mengajak alumni Al-Aziziyah yang memiliki TPQ atau lembaga serupa untuk bergabung. Gerakan ini terinspirasi dari model Rumah Tahfidz Yusuf Mansur, dan terbentuk pasca pelatihan “Cara Cepat Menghafal Quran” oleh Ustadz H. A. Fauzan Yayan Palembang di Ballroom Kantor Wali Kota Mataram.
Kalong yang Mengaji, Majelis yang Menyatu
Berbeda dari sistem pondok konvensional, Pondok Tahfidz An-Nawawi lebih dikenal dengan model “santri kalong”—yakni santri yang pulang-pergi tanpa harus mondok. Santri datang pagi atau sore, setelah beraktivitas harian, baik bekerja maupun bersekolah. Mereka mengaji, menghafal, dan memperbaiki bacaan bersama guru-guru yang sabar dan berpengalaman.
Menariknya, santri An-Nawawi berasal dari latar belakang sosial yang sangat beragam. Ada tukang parkir, pegawai negeri, pelajar, ibu rumah tangga, pengangguran, bahkan kepala dinas dan mantan kepala desa. Semua berkumpul dalam satu majelis. Batas-batas sosial menghilang, digantikan semangat belajar yang egaliter dan khidmat.
Semangat inilah yang menjadi pengejawantahan dari gagasan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), bahwa pendidikan adalah ruang emansipasi, tempat siapa pun bisa tumbuh dan mengubah diri. Pesantren ini tak sekadar membentuk hafalan, tetapi memulihkan martabat.