Kritik terhadap sistem kerja atau kepemimpinan dalam organisasi kerap disalahartikan sebagai bentuk pembangkangan. Padahal, dalam banyak organisasi yang sehat, kritik merupakan nafas perbaikan. Sebaliknya, loyalitas buta yang menafikan suara-suara kritis justru berpotensi mematikan inovasi dan menumbuhkan zona nyaman yang stagnan.
Seorang TAPM, yang dalam tugasnya harus sering bersuara terkait kebijakan teknis maupun dinamika lapangan, sangat mungkin bersentuhan dengan konflik, perbedaan pandangan, dan bahkan ketegangan horizontal. Namun ketegangan itu seharusnya menjadi bagian dari dinamika wajar, bukan bahan bakar menuding seseorang sebagai provokator.
Ketika pendamping di lapangan mencoba menyuarakan kebijakan yang tidak tepat atau mengkritik pola koordinasi yang lemah, lantas dianggap membuat tidak nyaman, maka kita patut bertanya: siapa sebenarnya yang terganggu—sistem atau egonya?
Tentu, kritik yang disampaikan dengan cara tidak etis juga tak bisa dibenarkan. Tapi dalam hal ini, perlu dibedakan secara tegas antara kritik membangun dengan provokasi destruktif. Tanpa pemahaman ini, kita hanya akan membentuk tim kerja yang steril dari pemikiran segar dan penuh ketakutan bersuara.
Jalan Tengah: Profesionalisme dan Perlindungan Martabat
Jika kita belajar dari berbagai kasus hubungan industrial dan konflik kerja, maka solusi terbaik selalu datang dari keseimbangan antara profesionalisme manajemen dan perlindungan martabat individu. Organisasi perlu memiliki mekanisme penanganan masalah internal yang adil, akuntabel, dan terbuka terhadap keberatan pihak terlapor.
Membuka ruang klarifikasi dengan cara yang tidak mengintimidasi dan tidak menyudutkan adalah langkah awal untuk menghindari eskalasi masalah ke ranah hukum atau publikasi negatif. Di sisi lain, individu yang merasa diperlakukan tidak adil juga berhak mempertimbangkan langkah perlindungan diri, baik melalui dokumentasi komunikasi, pendampingan hukum, maupun somasi non-litigasi.
Langkah somasi bukanlah bentuk perlawanan yang keras, melainkan bentuk klarifikasi balik dengan pendekatan hukum. Jika nama baik dan integritas seseorang dicederai oleh tuduhan yang tidak terbukti, maka pembelaan diri bukan hanya hak, tapi juga kewajiban untuk menjaga marwah profesi.
Di titik inilah pentingnya peran pimpinan yang bijak, adil, dan tidak cepat menyimpulkan. Konflik internal seharusnya dijembatani, bukan diperkeruh. Kepemimpinan yang mengedepankan dialog akan lebih berdaya dalam merawat keutuhan tim daripada mereka yang cepat menghakimi berdasarkan laporan sepotong.
Penutup
Ketika ruang kerja publik kehilangan sensitivitas terhadap komunikasi yang adil, lembaga bukan hanya akan gagal merawat sumber dayanya, tetapi juga perlahan kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan desa yang didampinginya.Â
Dalam konteks pendamping desa—yang tugas utamanya adalah memberdayakan dan membangun dengan pendekatan partisipatif—setiap bentuk pembungkaman ekspresi harus disikapi secara hati-hati.Â
Kita perlu membangun lingkungan kerja yang membuka ruang klarifikasi tanpa penghakiman, kritik tanpa stigmatisasi, dan loyalitas tanpa kekerasan struktural. Karena hanya dengan prinsip-prinsip itulah kerja pemberdayaan bisa tetap bermartabat dan berakar pada keadilan.