Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pulang yang Hening ke Al-Aziziyah

16 April 2025   08:36 Diperbarui: 16 April 2025   08:36 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://www.facebook.com/photo/?fbid=3446556295392036&set=a.866412260073132)

Langit pagi itu biru bersih. Angin melintas pelan di antara rindangnya pepohonan yang telah tumbuh besar di halaman pondok. Seorang lelaki paruh baya melangkah perlahan melewati gerbang utama Pondok Pesantren Al-Aziziyah.

Wajahnya teduh, senyum tipis menghiasi bibirnya. Ia mengenakan kopiah putih dan sarung bermotif klasik. Tak ada yang istimewa dari penampilannya, namun langkahnya membawa kenangan yang hanya bisa dirasakannya sendiri.

Ia adalah salah satu alumni angkatan awal, yang menyelesaikan hafalan qur’annya di Al-Aziziyah puluhan tahun silam. Hari itu, ia pulang. Pulang dalam arti sesungguhnya—kembali menapaki jejak masa lalu yang pernah menjadi bagian hidupnya.

Di halaman depan, beberapa santri berlalu-lalang. Kebanyakan mereka bergegas menuju kelas, membawa qur’an dan buku, namun ada juga yang santai mengobrol ringan di samping gerbang. Tak satu pun dari mereka mengenali lelaki itu.

Ia hanya berdiri, memandangi bangunan yang dulu ia tahu betul letak kamar-kamarnya. Asrama letter “U” yang kini telah berubah menjadi bangunan bertingkat empat, berpintu kaca, dan penuh warna baru. Pondok ini telah jauh berubah, lebih besar, lebih rapi, dan lebih hidup.

Namun, di tengah semaraknya perubahan, terasa ada sesuatu yang hilang. Setidaknya bagi lelaki itu. Ia berjalan pelan menuju Masjid Al-Kautsar, dimana dulu di bagian belakang masjid ini berdiri Masjid “Hidayatullah”. Ia berharap menemukan wajah-wajah lama. Tapi waktu terlalu jauh meninggalkannya.

Di depan masjid, seorang ustadz muda berdiri, mengenakan seragam batik khas pesantren dan sepatu pantofel. Ia terlihat sibuk memeriksa daftar nama untuk acara pertemuan alumni. Lelaki paruh baya itu mendekat dan menyebutkan namanya.

Seketika, petugas itu mengernyit. Ia meminta lelaki itu menunggu. Beberapa menit kemudian, datang seseorang yang berbeda. Seorang ustaz dengan pakaian batik sederhana, namun wajahnya penuh wibawa, Namanya Ustadz Ma’ruf. Matanya menatap sang alumni dalam-dalam.

Side... dulu satu kamar sama Ustaz Khairul, nggih?” tanyanya perlahan.

Sang alumni tersenyum lebar. “Nggih, tiang Sahlul. Tahun 1997 tiang selesai di pondok.”

Mereka bersalaman hangat. Mata sang ustaz berkaca-kaca. Ia masih mengabdi di pondok hingga hari ini, menjadi saksi hidup atas pertumbuhan dan perubahan Al-Aziziyah dari masa ke masa.

Pertemuan itu membekas dalam hati sang alumni. Ia disambut, namun ia menyadari bahwa tak ada lagi wajah yang dikenalnya. Tak ada lagi suara-suara lama yang biasa terdengar dari asrama. Yang ada hanya jejak-jejak kenangan yang pelan-pelan menua bersama dirinya.

(Sumber: https://www.facebook.com/photo/?fbid=3446556295392036&set=a.866412260073132)
(Sumber: https://www.facebook.com/photo/?fbid=3446556295392036&set=a.866412260073132)

Di tengah peringatan milad ke-40 Al-Aziziyah yang akan digelar, ia merenung. Bukan kemegahan yang membuatnya kembali. Tapi rindu. Dan tanggung jawab. Rindu akan suara ngaji di pagi buta, rindu akan semangat menimba ilmu tanpa pamrih. Rindu akan suasana yang membentuknya menjadi seperti sekarang.

Sementara tanggung jawab itu muncul dari kesadaran. Bahwa pesantren ini tumbuh besar bukan hanya dari kerja keras para pengasuh dan santri, tapi juga karena doa dan kontribusi para alumni dari generasi ke generasi.

Ia berpikir panjang. Apa yang bisa dilakukan alumni sepertinya—yang telah lama pergi dan nyaris dilupakan—dalam menyambut milad ke-40 pesantren tercintanya?

Pertanyaan itu menyentaknya. Sebab ternyata, banyak hal yang bisa dilakukan.

Pertama, dengan kembali menyambung silaturahmi. Sebab bagi pesantren, kehadiran alumni adalah penanda bahwa nilai-nilai pesantren tidak putus di tengah jalan. Wajah-wajah lama adalah semacam oase bagi para santri yang tengah tumbuh dalam masa pencarian jati diri.

Kedua, dengan menjadi bagian dari sejarah yang sedang ditulis ulang. Buku besar tentang Al-Aziziyah tengah disusun untuk menjadi panduan kepesantrenan. Alumni senior bisa menyumbangkan kisah, pengalaman, dan refleksi hidup yang lahir dari rahim pendidikan pesantren.

Ketiga, dengan menyokong cita-cita besar pesantren. Entah melalui kontribusi pemikiran, jejaring, atau bahkan dukungan materiil yang bisa mempercepat terwujudnya mimpi pesantren: menjadi pusat pendidikan Islam yang modern, moderat, dan mendunia.

Lelaki itu kemudian duduk di serambi masjid. Menatap sekeliling. Ia tahu bahwa waktu tak bisa diputar kembali. Tapi ia percaya, masa depan bisa dibentuk bersama.

Kehadirannya mungkin tak lagi dikenang, tapi ia ingin memastikan bahwa ia tetap memberi makna. Ia ingin menanam benih kebaikan untuk santri-santri hari ini, sebagaimana dulu ia pernah menjadi santri yang ditanamkan nilai-nilai oleh para guru.

Hari itu, ia membuat status di sosmed. Ditujukan kepada para sahabat lamanya yang kini tersebar entah di mana. Ia mengajak mereka pulang. Bukan untuk nostalgia semata, tapi untuk meneguhkan kembali ikatan batin yang pernah terbangun.

Ia menulis, “Mari kita pulang. Mari kita hadir. Bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai bagian dari cita-cita besar yang tak pernah usai.

Karena menurutnya, peringatan 40 tahun bukan hanya seremoni. Tapi titik balik untuk bersama-sama membawa pesantren ke babak baru. Seperti pepatah bijak bilang, hidup sejatinya dimulai di usia 40.

Maka dari itu, usia 40 Al-Aziziyah adalah momen emas. Bagi para alumni senior, inilah waktunya untuk tidak sekadar mengenang. Tapi juga menyumbangkan sesuatu yang bisa diwariskan.

Bisa jadi dalam bentuk beasiswa bagi santri kurang mampu. Atau pelatihan keterampilan hidup bagi santri akhir. Bisa juga dalam bentuk forum diskusi antara alumni dan santri untuk membuka wawasan ke luar pesantren.

Lelaki itu percaya, pesantren tak akan besar hanya dengan bangunan. Tapi dengan narasi yang terus ditulis ulang oleh para alumninya. Dengan langkah kecil yang dilakukan bersama, secara kolektif, dan penuh cinta.

Ia pulang ke pondok dalam diam. Namun keheningan itu justru mempertemukannya dengan suara batin yang menguatkan, bahwa dirinya masih punya peran, meski tak lagi dikenali.

Di penghujung kunjungannya, ia berdiri di depan gerbang. Menengok ke dalam sekali lagi. “Insya Allah saya akan kembali,” bisiknya pelan.

Pulang yang hening itu tak lagi terasa sepi. Ia membawa pulang tekad. Bahwa di usia 40 Al-Aziziyah, ia dan para alumni lain bisa kembali menjadi bagian dari perjalanan yang lebih besar, lebih bermakna, dan lebih mengakar.

Sebab pada akhirnya, pulang adalah tentang ke mana hati kita kembali berpijak. Dan bagi para alumni, hati mereka tak pernah benar-benar pergi dari Al-Aziziyah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun