Malam Tahun Baru selalu menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Kembang api yang menghiasi langit, suara riuh rendah perayaan, dan hiruk-pikuk jalan raya menciptakan suasana yang meriah. Namun, bagi para santri Pondok Pesantren Al-Aziziyah pada tahun 1995, malam pergantian tahun dirayakan dengan cara yang sangat berbeda.
Pesantren Al-Aziziyah terletak hanya sekitar sepuluh menit dari Senggigi, lokasi wisata yang biasanya dijadikan sebagai pusat perayaan malam tahun baru di Lombok. Namun, jarak yang dekat itu tidak membuat para santri berbondong-bondong menuju keramaian. Mereka tetap berada di pesantren, menyaksikan kembang api dari kejauhan.
Dari lantai tiga salah satu gedung pesantren, para santri menikmati letupan kembang api yang terlihat di langit Senggigi. Suara gemuruh kendaraan di jalur alternatif Rembiga-Senggigi, yang penuh dengan kendaraan bermotor sejak pagi hingga malam, menjadi latar belakang yang menemani malam mereka.
Orang mungkin akan berpikir bahwa para santri tidak turut serta dalam perayaan karena aturan ketat pondok pesantren. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Pilihan untuk tetap tinggal di pesantren lebih didasari pada kesadaran dan preferensi pribadi.
Sebagian besar santri tidak merasa kehilangan dengan tidak menghadiri kemeriahan itu. Mereka justru memanfaatkan malam tahun baru sebagai momen untuk bermuhasabah, merefleksikan diri, dan merenungkan perjalanan hidup mereka selama setahun terakhir.
Bagi santri, malam tahun baru tidak diisi dengan gegap gempita, melainkan dengan keheningan yang bermakna. Mereka menggunakan waktu tersebut untuk membuat rencana ke depan, walaupun sering kali rencana itu lebih menyerupai khayalan.
Dalam dunia pesantren, khayalan memiliki tempat tersendiri. Ia menjadi semacam latihan mental yang membangun motivasi dan harapan, meskipun pelaksanaannya masih jauh dari realisasi.
Pilihan untuk bermuhasabah ini mengingatkan kita pada tradisi keilmuan pesantren yang menempatkan refleksi sebagai salah satu pilar utama pendidikan. Seperti yang diungkapkan oleh Mukti Ali dalam bukunya Pesantren dan Perubahan Sosial, pesantren adalah tempat di mana proses berpikir kritis dan reflektif diajarkan sejak dini.
Dalam konteks ini, malam tahun baru menjadi waktu yang tepat bagi santri merefleksikan apa yang telah dicapai dan apa yang masih perlu diperbaiki.
Tradisi refleksi ini juga memiliki akar dalam ajaran Islam. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang senantiasa mengevaluasi dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati” (HR. Tirmidzi). Prinsip ini menjadi pegangan bagi para santri dalam memaknai setiap pergantian waktu, termasuk malam tahun baru. Mereka diajarkan bahwa setiap detik adalah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.