Kehadirannya mungkin tak lagi dikenang, tapi ia ingin memastikan bahwa ia tetap memberi makna. Ia ingin menanam benih kebaikan untuk santri-santri hari ini, sebagaimana dulu ia pernah menjadi santri yang ditanamkan nilai-nilai oleh para guru.
Hari itu, ia membuat status di sosmed. Ditujukan kepada para sahabat lamanya yang kini tersebar entah di mana. Ia mengajak mereka pulang. Bukan untuk nostalgia semata, tapi untuk meneguhkan kembali ikatan batin yang pernah terbangun.
Ia menulis, “Mari kita pulang. Mari kita hadir. Bukan hanya sebagai tamu, tapi sebagai bagian dari cita-cita besar yang tak pernah usai.”
Karena menurutnya, peringatan 40 tahun bukan hanya seremoni. Tapi titik balik untuk bersama-sama membawa pesantren ke babak baru. Seperti pepatah bijak bilang, hidup sejatinya dimulai di usia 40.
Maka dari itu, usia 40 Al-Aziziyah adalah momen emas. Bagi para alumni senior, inilah waktunya untuk tidak sekadar mengenang. Tapi juga menyumbangkan sesuatu yang bisa diwariskan.
Bisa jadi dalam bentuk beasiswa bagi santri kurang mampu. Atau pelatihan keterampilan hidup bagi santri akhir. Bisa juga dalam bentuk forum diskusi antara alumni dan santri untuk membuka wawasan ke luar pesantren.
Lelaki itu percaya, pesantren tak akan besar hanya dengan bangunan. Tapi dengan narasi yang terus ditulis ulang oleh para alumninya. Dengan langkah kecil yang dilakukan bersama, secara kolektif, dan penuh cinta.
Ia pulang ke pondok dalam diam. Namun keheningan itu justru mempertemukannya dengan suara batin yang menguatkan, bahwa dirinya masih punya peran, meski tak lagi dikenali.
Di penghujung kunjungannya, ia berdiri di depan gerbang. Menengok ke dalam sekali lagi. “Insya Allah saya akan kembali,” bisiknya pelan.
Pulang yang hening itu tak lagi terasa sepi. Ia membawa pulang tekad. Bahwa di usia 40 Al-Aziziyah, ia dan para alumni lain bisa kembali menjadi bagian dari perjalanan yang lebih besar, lebih bermakna, dan lebih mengakar.
Sebab pada akhirnya, pulang adalah tentang ke mana hati kita kembali berpijak. Dan bagi para alumni, hati mereka tak pernah benar-benar pergi dari Al-Aziziyah.