Mereka bersalaman hangat. Mata sang ustaz berkaca-kaca. Ia masih mengabdi di pondok hingga hari ini, menjadi saksi hidup atas pertumbuhan dan perubahan Al-Aziziyah dari masa ke masa.
Pertemuan itu membekas dalam hati sang alumni. Ia disambut, namun ia menyadari bahwa tak ada lagi wajah yang dikenalnya. Tak ada lagi suara-suara lama yang biasa terdengar dari asrama. Yang ada hanya jejak-jejak kenangan yang pelan-pelan menua bersama dirinya.
Di tengah peringatan milad ke-40 Al-Aziziyah yang akan digelar, ia merenung. Bukan kemegahan yang membuatnya kembali. Tapi rindu. Dan tanggung jawab. Rindu akan suara ngaji di pagi buta, rindu akan semangat menimba ilmu tanpa pamrih. Rindu akan suasana yang membentuknya menjadi seperti sekarang.
Sementara tanggung jawab itu muncul dari kesadaran. Bahwa pesantren ini tumbuh besar bukan hanya dari kerja keras para pengasuh dan santri, tapi juga karena doa dan kontribusi para alumni dari generasi ke generasi.
Ia berpikir panjang. Apa yang bisa dilakukan alumni sepertinya—yang telah lama pergi dan nyaris dilupakan—dalam menyambut milad ke-40 pesantren tercintanya?
Pertanyaan itu menyentaknya. Sebab ternyata, banyak hal yang bisa dilakukan.
Pertama, dengan kembali menyambung silaturahmi. Sebab bagi pesantren, kehadiran alumni adalah penanda bahwa nilai-nilai pesantren tidak putus di tengah jalan. Wajah-wajah lama adalah semacam oase bagi para santri yang tengah tumbuh dalam masa pencarian jati diri.
Kedua, dengan menjadi bagian dari sejarah yang sedang ditulis ulang. Buku besar tentang Al-Aziziyah tengah disusun untuk menjadi panduan kepesantrenan. Alumni senior bisa menyumbangkan kisah, pengalaman, dan refleksi hidup yang lahir dari rahim pendidikan pesantren.
Ketiga, dengan menyokong cita-cita besar pesantren. Entah melalui kontribusi pemikiran, jejaring, atau bahkan dukungan materiil yang bisa mempercepat terwujudnya mimpi pesantren: menjadi pusat pendidikan Islam yang modern, moderat, dan mendunia.
Lelaki itu kemudian duduk di serambi masjid. Menatap sekeliling. Ia tahu bahwa waktu tak bisa diputar kembali. Tapi ia percaya, masa depan bisa dibentuk bersama.