Bayangkan dunia di mana media sosial “tutup” pukul enam sore, layaknya toko atau kantor. Layar-layar yang biasanya menyala hingga larut malam tiba-tiba gelap, memaksa kita menghadapi ruang nyata. Seperti ritme alam yang terlupakan, manusia mungkin kembali menemukan waktu untuk berbincang.
Warung-warung kopi yang selama ini dipenuhi suara ketukan ponsel bisa bergema kembali dengan obrolan hangat. Taman-taman mungkin ramai oleh kelompok-kelompok yang berdiskusi, bukan sekadar duduk membisu sambil menatap gawai. Dunia tanpa media sosial di malam hari bisa menjadi eksperimen sosial yang menarik untuk melihat bagaimana manusia beradaptasi.
Momen Lebaran sering menjadi cermin dari dinamika ini. Keluarga besar berkumpul, meja penuh hidangan, dan percakapan yang mengalir dari politik hingga kenangan masa kecil. Ada yang bersemangat menyambut kerabat (booster), ada pula yang merasa energi sosialnya terkuras (drainer) dalam interaksi yang panjang.
Dalam buku Reclaiming Conversation (2015), Sherry Turkle menegaskan bahwa interaksi tatap muka mengasah empati, sesuatu yang tak tergantikan oleh pesan singkat atau emoji. Tanpa distraksi media sosial, momen seperti Lebaran bisa menjadi laboratorium alami untuk melatih kepekaan dalam memahami emosi dan ekspresi lawan bicara.
Tapi bisakah kebersamaan yang intens dipertahankan tanpa kelelahan? Sebuah studi Pew Research Center (2021) mengungkap, 48% orang merasa lelah secara emosional setelah interaksi sosial berlebihan. Di tengah tradisi Lebaran, tekanan untuk terus berbicara atau memenuhi harapan keluarga kerap memicu kecemasan sosial.
Di sinilah batasan menjadi kunci. Psikolog sosial Robert Sapolsky dalam Behave (2017) mengingatkan bahwa manusia butuh jeda untuk memulihkan energi kognitif. Tanpa jeda, pertemuan yang seharusnya bermakna justru berubah menjadi beban yang membuat orang merasa terbebani, bukan terhubung secara emosional.
Dunia bisnis juga menghadapi dilema. Bagi UMKM yang mengandalkan promosi daring, penutupan media sosial bisa mengganggu pendapatan. Laporan Bank Indonesia (2022) mencatat bahwa 65% pelaku usaha mikro mengaku media sosial menjadi saluran pemasaran utama mereka dalam menjangkau pelanggan secara luas.
Di sisi lain, masyarakat mungkin mulai mencari cara baru berbelanja, seperti lewat rekomendasi tetangga atau kunjungan langsung ke pasar. Perlahan, interaksi ekonomi pun kembali ke pola tradisional yang lebih personal, seperti obrolan di warung atau pertemuan langsung dengan pedagang di pasar tradisional.
Namun, hambatan terbesar mungkin terletak pada kebiasaan. Generasi yang tumbuh dengan gawai sering kali merasa “asing” tanpa layar. Johann Hari dalam Stolen Focus (2022) menyebut bahwa paparan teknologi digital telah memendekkan rentang perhatian manusia, membuat mereka sulit beradaptasi dengan interaksi nyata.
Jika media sosial tiba-tiba berhenti, banyak orang akan kebingungan mengisi waktu. Di sinilah Lebaran bisa menjadi pintu masuk, tradisi sungkem, berbagi cerita, atau memasak bersama mengajarkan kita untuk menikmati ritme yang lebih lambat dan bermakna tanpa tergesa-gesa atau distraksi dari dunia digital.