Lebaran selalu identik dengan kemeriahan. Baju baru, makanan melimpah, dan tradisi mudik seakan menjadi keharusan. Namun, di tengah semangat perayaan, konsumsi berlebihan kerap terjadi. Seakan Lebaran kehilangan esensi, terjebak dalam budaya materialisme. Padahal, ada cara lain yang lebih bermakna: Lebaran minimalis.
Di desa, tradisi ini bukan hal baru. Warga merayakan Idulfitri dengan sederhana, tetapi tetap hangat. Pakaian tidak harus baru, cukup yang terbaik yang dimiliki. Tidak ada keharusan membeli baju setiap tahun. Kesederhanaan ini mengajarkan bahwa Lebaran bukan tentang penampilan, melainkan tentang makna kebersamaan (Rakhmat, 2019).
Makanan juga tidak berlebihan. Hidangan khas tetap tersaji, tetapi dibuat dalam jumlah yang cukup. Tidak ada budaya membuang makanan. Jika ada sisa, akan dibagikan atau diolah kembali. Hal ini berbeda dengan kota, di mana makanan sering berakhir sebagai limbah (Suryani, 2022).
Silaturahmi di desa pun lebih ramah lingkungan. Warga saling mengunjungi dengan berjalan kaki atau naik sepeda. Tidak perlu konvoi kendaraan yang menciptakan polusi. Berbeda dengan kota yang sering diwarnai kemacetan panjang saat hari raya. Kesederhanaan ini menjadi pengingat bahwa perayaan tidak harus boros.
Berbagi juga dilakukan dengan cara yang lebih bermakna. Angpau tidak selalu berupa uang, tetapi juga dalam bentuk hasil bumi. Beras, telur, atau buah-buahan menjadi hadiah yang lebih bernilai. Tidak hanya bermanfaat, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial (Hidayat, 2020).
Bingkisan Lebaran pun dibuat lebih ramah lingkungan. Warga desa cenderung menggunakan wadah alami, seperti anyaman bambu atau daun pisang. Ini jauh lebih berkelanjutan dibandingkan kemasan plastik yang sulit terurai. Sederhana, tetapi memiliki dampak besar bagi lingkungan.
Dekorasi rumah juga mengutamakan alam. Hiasan dari janur kuning atau daun kelapa lebih sering digunakan. Rumah tidak harus penuh pernak-pernik plastik. Beberapa rumah cukup dicat dengan kapur sirih, memberi kesan segar tanpa mengandalkan produk berbahan kimia.
Mudik pun dilakukan dengan cara bijak. Warga desa cenderung menggunakan transportasi umum atau berbagi kendaraan. Hal ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mengurangi jejak karbon. Sebuah kontras dengan fenomena di kota yang kerap menunjukkan kemacetan panjang akibat arus mudik yang tidak terkendali (Kompas, 2023).
Lebaran minimalis sebenarnya bukan sekadar gaya hidup. Ini adalah refleksi dari nilai-nilai yang mulai tergerus modernitas. Kesederhanaan dalam merayakan Idulfitri justru menghadirkan makna yang lebih dalam. Tidak sekadar perayaan, tetapi juga momen untuk kembali ke esensi.
Di desa, tidak ada persaingan dalam hal kemewahan. Kebahagiaan Idulfitri tidak diukur dari jumlah hadiah atau kemegahan pesta. Justru kebersamaan menjadi hal utama. Saling mengunjungi, bermaafan, dan berbagi cerita jauh lebih berharga daripada sekadar pamer kekayaan.
Kesederhanaan ini juga terlihat dalam cara warga desa menyambut tamu. Tidak perlu menyajikan hidangan mewah. Teh hangat dan kue buatan sendiri sudah cukup. Yang lebih penting adalah suasana akrab yang terjalin dalam percakapan yang tulus.
Di kota, Lebaran sering kali identik dengan tuntutan sosial. Baju harus baru, rumah harus dihias, dan hidangan harus berlimpah. Jika tidak, seolah-olah perayaan kurang sempurna. Padahal, kebahagiaan Idulfitri tidak tergantung pada hal-hal materiil.
Lebaran minimalis mengajarkan kita untuk lebih bijak dalam mengelola sumber daya. Tidak perlu berbelanja berlebihan hanya demi gengsi. Menggunakan barang yang sudah ada justru lebih bijak dan ramah lingkungan. Sebuah kebiasaan yang patut ditiru dari warga desa.
Kebiasaan berbagi juga lebih terasa dalam budaya desa. Tidak hanya kepada keluarga, tetapi juga kepada tetangga dan orang yang membutuhkan. Bantuan diberikan tanpa pamrih, bukan sekadar formalitas atau kewajiban tahunan.
Lebaran di desa juga mengedepankan nilai gotong royong. Persiapan perayaan dilakukan bersama-sama. Dari membersihkan masjid, memasak hidangan, hingga mengatur jalannya takbiran, semua dilakukan dengan semangat kebersamaan.
Anak-anak di desa tumbuh dengan pemahaman bahwa kebahagiaan tidak harus mahal. Mereka senang bermain dengan teman sebaya tanpa memikirkan baju baru atau hadiah mahal. Kebersamaan lebih penting dibandingkan kepemilikan barang.
Di tengah perubahan zaman, kita bisa belajar dari desa. Merayakan Lebaran dengan sederhana bukan sekadar pilihan, tetapi juga bentuk kepedulian. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk lingkungan dan generasi mendatang.
Menjadikan Lebaran lebih minimalis bukan berarti mengurangi kebahagiaan. Justru sebaliknya, ada ruang lebih luas untuk merasakan ketulusan dalam berbagi. Tidak perlu gengsi atau berlomba dalam kemewahan. Yang utama adalah kebersamaan yang hadir tanpa beban materialisme.
Lebaran minimalis juga dapat mengurangi beban finansial. Banyak keluarga yang berutang demi memenuhi standar perayaan. Dengan menerapkan kesederhanaan, kita bisa menghindari tekanan ekonomi yang tidak perlu.
Pada akhirnya, esensi Idulfitri terletak pada hati yang kembali suci. Bukan pada pakaian baru, makanan mewah, atau dekorasi rumah. Kesederhanaan justru membawa kita lebih dekat pada makna sejati Lebaran: berbagi kebahagiaan dengan ketulusan.
Lebaran minimalis, Lebaran yang lebih bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI