Idul Fitri di Lombok selalu menjadi momen istimewa bagi masyarakat Sasak. Perayaan ini bukan sekadar ajang silaturahmi, tetapi juga manifestasi budaya yang diwariskan turun-temurun. Setiap tahun, tradisi memasak dan berbagi makanan menjadi bagian tak terpisahkan dari semangat gotong royong.
Sejak malam takbiran, dapur-dapur di desa mulai ramai. Para ibu, nenek, dan perempuan dewasa saling berbagi tugas. Ada yang mengulek bumbu, mengaduk santan, atau membungkus ketupat. Ini bukan sekadar aktivitas memasak, tetapi juga cara menjaga nilai kebersamaan dalam komunitas.
Di masyarakat Sasak, tradisi bejajar begawe masih lestari. Warga berkumpul di rumah tertentu untuk menyiapkan hidangan Lebaran secara bersama-sama. Laki-laki bertugas menyembelih hewan dan menyiapkan kayu bakar, sementara perempuan mengolah bahan makanan. Semua bekerja dalam harmoni, tanpa pamrih, semata untuk kebersamaan.
Hidangan khas seperti lebui dan poteng menjadi ikon Lebaran di Lombok. Lebui, kacang hitam dengan tekstur lembut, selalu hadir sebagai pelengkap hidangan utama. Sementara poteng, ketan fermentasi yang manis, menjadi sajian favorit saat berbuka puasa dan Lebaran.
Selain itu, tradisi ngangkat bejaje menambah kehangatan perayaan. Masyarakat berbagi makanan dengan tetangga dan kerabat. Jaje (jajanan) khas seperti cerorot dan timus menjadi simbol kebersamaan. Nilai sosial ini merupakan cerminan budaya Sasak yang tetap bertahan meski zaman terus berubah (Geertz, 1963).
Namun, di balik kehangatan tradisi, tantangan selalu ada. Kenaikan harga bahan pokok menjelang Lebaran menjadi dilema tahunan. Harga daging, santan, dan rempah-rempah melonjak tajam. Keluarga dengan ekonomi terbatas harus cermat mengatur anggaran agar tetap bisa menyajikan hidangan khas Lebaran.
Memasak dalam jumlah besar juga bukan perkara mudah. Hidangan seperti bebalung dan ares memerlukan waktu lama agar bumbu meresap sempurna. Para ibu harus berdiri berjam-jam di dapur, mengaduk masakan agar tidak gosong. Sementara itu, memasak dengan kayu bakar membutuhkan kesabaran ekstra.
Setelah masakan siap, pekerjaan belum selesai. Rumah harus bersih dan rapi untuk menyambut tamu. Tumpukan piring kotor dan alat masak yang digunakan dalam proses memasak harus segera dicuci. Ini menjadi tugas tambahan yang melelahkan, terutama bagi keluarga besar yang menerima banyak tamu.
Di beberapa desa, pemadaman listrik menjadi kendala tersendiri. Ketika penggunaan listrik meningkat, daya sering kali tidak stabil. Kompor listrik atau blender yang digunakan untuk menghaluskan bumbu sering mati mendadak. Ini tentu menghambat kelancaran persiapan Lebaran.
Meski penuh tantangan, kebersamaan dalam memasak Lebaran memberi makna tersendiri. Saat sajian tersaji di meja makan, kelelahan seolah sirna. Melihat keluarga dan tamu menikmati makanan dengan lahap menjadi kebahagiaan tersendiri. Senyum kepuasan menjadi bukti bahwa perjuangan di dapur tidak sia-sia.