Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Data dan Realita: Ketika Lantai Rumah Bercerita tentang Ketimpangan

14 Maret 2025   16:37 Diperbarui: 14 Maret 2025   16:37 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, rumah tidak layak huni (money.kompas.com/image/2019/03/04/070400526/menimbang-kemiskinan-pedesaan)

 

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan di Lombok Tengah kembali mengusung isu yang tak pernah usai: pembangunan rumah layak huni. Usulan ini muncul bukan tanpa alasan. Dari total penduduk Lombok Tengah yang mencapai 1.085.652 jiwa, data dalam Sistem Informasi Desa (SID) Kementerian Desa mencatat 394.169 jiwa telah terdata dalam SDGs Desa.

Namun, ketika kita menelisik lebih dalam, ada fakta yang menohok. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil keluarga yang menikmati lantai marmer, keramik, atau kayu berkualitas tinggi. Sebagian besar masih bertahan dengan lantai semen, bata merah, bambu, atau kayu kualitas rendah. Ini bukan sekadar angka, melainkan gambaran ketimpangan yang masih menganga.

Data dari SID Kemendesa menunjukkan bahwa hanya 2.165 keluarga memiliki lantai marmer atau granit, sementara 35.562 keluarga menggunakan keramik. Angka ini terlihat besar, tetapi menjadi tidak signifikan jika dibandingkan dengan 83.493 keluarga yang masih hidup dengan lantai semen atau bata merah. Ketimpangan ini masih nyata.

Bahkan, ada 1.059 keluarga yang tinggal di rumah berlantai bambu dan 1.841 keluarga dengan lantai kayu berkualitas rendah. Kondisi ini menggambarkan betapa masih banyak warga Lombok Tengah yang hidup dalam ketidaklayakan. Tanpa rumah yang layak, kesejahteraan menjadi sulit terwujud. Hal ini memperlihatkan ketimpangan yang masih bertahan.

Seperti yang diungkapkan oleh Johan Silas, pakar perumahan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dalam wawancara dengan Kompas, “Rumah layak huni adalah hak dasar setiap warga negara. Tanpa itu, mustahil berbicara tentang kesejahteraan.” Rumah layak huni bukan sekadar tempat berteduh, melainkan kebutuhan mendasar.

Musrenbang seharusnya menjadi ruang untuk menyuarakan kebutuhan mendesak ini. Namun, seringkali usulan yang muncul hanya berhenti di tingkat kecamatan atau kabupaten. Alokasi anggaran yang terbatas dan prioritas pembangunan yang tidak tepat menjadi penghambat utama. Akibatnya, rumah layak huni masih menjadi impian banyak warga.

Padahal, seperti yang ditulis oleh Budiman Sudjatmiko dalam bukunya Anak-Anak Revolusi, “Rumah adalah simbol martabat. Tanpa rumah yang layak, manusia kehilangan identitas dan rasa aman.” Di Lombok Tengah, hal ini terasa sangat nyata. Banyak keluarga yang tinggal di rumah reyot, dengan atap bocor dan lantai yang tidak rata.

Mereka tidak meminta rumah mewah, hanya tempat tinggal yang aman dan layak untuk keluarga. Persoalan rumah layak huni di Lombok Tengah juga tidak bisa dilepaskan dari dampak gempa bumi yang melanda wilayah itu pada 2018. Ribuan rumah hancur, dan hingga kini, banyak warga masih tinggal di rumah darurat. Situasi ini masih menjadi persoalan besar.

Rekonstruksi pascabencana memang telah dilakukan, tetapi belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Seperti yang dilaporkan oleh Kompas pada 2022, “Proses rekonstruksi pascagempa Lombok masih menyisakan pekerjaan rumah besar, terutama dalam hal penyediaan rumah layak huni bagi korban gempa.” Banyak warga masih bertahan dengan kondisi serba kekurangan.

Ini menunjukkan bahwa bencana alam bukan hanya merusak infrastruktur, tetapi juga memperparah ketimpangan sosial. Dalam kondisi ini, partisipasi masyarakat dalam Musrenbang menjadi penting. Namun, partisipasi saja tidak cukup. Pemerintah harus memastikan bahwa usulan yang muncul dari Musrenbang benar-benar direspons dan diimplementasikan.

Seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Erani Yustika dalam bukunya Ekonomi Kerakyatan dan Pembangunan, “Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan harus diikuti dengan komitmen politik yang kuat dari pemerintah. Tanpa itu, Musrenbang hanya akan menjadi ritual tahunan tanpa makna.” Realisasi program sangat bergantung pada komitmen politik.

Selain itu, pembangunan rumah layak huni juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Rumah yang dibangun harus ramah lingkungan dan tahan bencana. Lombok Tengah, yang terletak di wilayah rawan gempa, membutuhkan desain rumah yang sesuai dengan kondisi geografisnya. Hal ini penting untuk menjamin ketahanan jangka panjang.

Seperti yang disarankan oleh Marco Kusumawijaya dalam bukunya Jakarta: Metropolis Tunggang-Langgang, “Pembangunan rumah layak huni harus mempertimbangkan konteks lokal, termasuk kondisi alam dan budaya masyarakat setempat.” Artinya, rumah tidak hanya dibangun untuk tempat tinggal, tetapi juga harus sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.

Di sisi lain, peran swasta dan lembaga non-pemerintah juga tidak bisa diabaikan. Program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan besar bisa diarahkan untuk mendukung pembangunan rumah layak huni. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga bisa menjadi mitra pemerintah dalam mengawal program ini.

Seperti yang dilakukan oleh Habitat for Humanity Indonesia, yang telah membangun ribuan rumah layak huni di berbagai daerah. Kolaborasi seperti ini bisa menjadi solusi untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan rumah layak huni di Lombok Tengah. Dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan agar program ini berjalan efektif.

Namun, semua upaya itu tidak akan berarti tanpa political will dari pemerintah. Seperti yang ditulis oleh Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy, “Kebijakan publik hanya akan berhasil jika ada komitmen politik yang kuat dari para pembuat kebijakan.” Tanpa komitmen itu, usulan pembangunan rumah layak huni hanya menjadi mimpi.

Pada akhirnya, rumah layak huni adalah tentang keadilan sosial. Setiap warga negara, tanpa memandang status sosial atau ekonomi, berhak memiliki tempat tinggal yang layak. Musrenbang adalah kesempatan untuk mewujudkan keadilan itu. Namun, kesempatan itu tidak akan berarti jika tidak diikuti dengan tindakan nyata.

Warga Lombok Tengah sudah menunggu terlalu lama. Mereka tidak butuh janji, tetapi aksi. Karena rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat di mana mimpi dan harapan dibangun. Pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan harus memastikan bahwa program rumah layak huni bukan sekadar wacana, tetapi benar-benar terealisasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun