Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pendamping Desa, Ramadan, dan Energi yang Tak Boleh Padam

28 Februari 2025   09:15 Diperbarui: 1 Maret 2025   03:26 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musywarah Desa Khusus (Musdessus) penetapan perbaikan data Kelompok Penerima Manfaat (KPM) BLT-DD (Sumber: Dokumen pribadi)

Seperti biasa, Ramadan mengubah ritme kehidupan banyak orang. Waktu istirahat bergeser, aktivitas siang menjadi lebih lamban, dan energi perlu dihemat untuk bertahan hingga waktu berbuka. Namun, bagi para Pendamping Desa, tugas tetap berjalan. Mereka harus memastikan program tetap berjalan, mendampingi musyawarah, dan menyelesaikan laporan. Tidak ada pilihan untuk jeda panjang.

Tantangan di bulan Ramadan bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga. Tapi juga bagaimana tetap bugar saat harus berkeliling dari satu dusun ke dusun lainnya. Terik matahari, perjalanan panjang, serta diskusi yang kerap melelahkan menjadi ujian tersendiri. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana pendamping menjaga stamina?

Sebagian pendamping memilih mengalihkan kegiatan ke malam hari. Waktu setelah berbuka menjadi kesempatan bertemu perangkat desa dan warga. Rapat-rapat kecil, diskusi santai, hingga monitoring program dilakukan selepas tarawih. Tapi apakah ini cukup efektif?

Di beberapa desa, perangkat dan warga tetap lebih nyaman berdiskusi di siang hari. Alasan klasiknya, setelah tarawih, banyak yang ingin beristirahat atau punya agenda lain. Tidak semua orang bisa tetap produktif di malam hari. Sementara itu, jika pertemuan tetap dilakukan siang hari, pendamping harus pandai mengatur energi agar tidak tumbang sebelum waktu berbuka tiba.

Ada beberapa strategi yang bisa diterapkan. Menyesuaikan jadwal kunjungan, mengurangi aktivitas fisik berlebih di siang hari, dan mengoptimalkan kerja-kerja administratif saat malam adalah sebagian solusinya. Mengelola asupan gizi saat sahur juga sangat penting. Dalam buku Nutrition and Hydration in Ramadan (Kaleem & Ahmed, 2021), disebutkan bahwa sahur tinggi protein dan serat membantu menjaga energi lebih lama.

Di sisi lain, ada juga yang berpendapat bahwa Ramadan justru momen terbaik mempraktikkan kerja efektif. Pendamping bisa lebih selektif dalam menentukan prioritas kerja. Tidak semua hal harus dilakukan dalam satu hari. Pemanfaatan teknologi seperti WhatsApp atau Zoom juga dapat menggantikan beberapa pertemuan tatap muka yang tidak terlalu mendesak.

Dalam sejarahnya, Ramadan bukan bulan beristirahat total. Banyak peristiwa besar justru terjadi di bulan suci ini. Misalnya, Perang Badar yang menjadi momen penting dalam sejarah Islam (Armstrong, 2002). Ini mengingatkan bahwa menahan lapar bukan alasan berhenti produktif.

Lebih jauh, Ramadan bisa menjadi waktu yang tepat untuk membangun sinergi dengan warga desa. Buka puasa bersama, tadarus Al-Qur’an, dan kegiatan sosial lainnya bisa menjadi momen mempererat hubungan antara pendamping dan masyarakat. Pendamping yang mampu menyesuaikan ritme Ramadan akan lebih mudah membangun kepercayaan dengan warga, karena mereka tidak sekadar hadir sebagai pendamping program, tetapi juga bagian dari komunitas.

Selain itu, Ramadan juga mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kerja dan ibadah. Pendamping yang menjalani ibadah dengan khusyuk dan tetap produktif dalam tugasnya akan lebih mampu menjaga kesehatan mental dan fisiknya. Salah satu cara yang bisa diterapkan adalah dengan memanfaatkan waktu istirahat secara lebih bijak, misalnya dengan tidur yang cukup di malam hari dan tidak terlalu banyak begadang.

Dari segi teknis, penggunaan teknologi dalam kerja-kerja pendampingan bisa menjadi solusi yang lebih efektif. Jika pertemuan langsung terlalu melelahkan, pendamping bisa lebih banyak menggunakan metode komunikasi digital untuk mendiskusikan hal-hal yang tidak memerlukan tatap muka. Ini juga bisa menjadi cara untuk tetap produktif tanpa harus menguras energi berlebih.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada tantangan tambahan di beberapa wilayah yang memiliki keterbatasan akses internet. Pendamping di daerah terpencil mungkin masih harus mengandalkan metode konvensional, seperti datang langsung ke rumah warga atau mengadakan pertemuan tatap muka. Dalam kondisi seperti ini, strategi pengelolaan energi menjadi lebih krusial.

Di tengah tantangan Ramadan, pendamping juga menemukan momen refleksi. Saat berbincang dengan warga, mereka melihat bagaimana Ramadan menjadi ajang gotong royong yang lebih kuat. Bantuan sosial meningkat, kegiatan keagamaan lebih ramai, dan solidaritas terasa lebih nyata. Dalam situasi ini, pendamping bukan sekadar fasilitator pembangunan, tetapi juga bagian dari komunitas yang menghidupi semangat kebersamaan.

Selain aspek sosial, Ramadan juga mengajarkan bahwa yang terpenting bukan seberapa banyak pekerjaan yang diselesaikan, tetapi bagaimana memastikan dampaknya nyata. Mungkin Ramadan bukan soal bekerja lebih keras, tapi bekerja lebih cerdas. Dengan strategi yang tepat, puasa bukan halangan, melainkan energi tambahan untuk tetap mengawal pembangunan desa.

Pada akhirnya, Ramadan bagi Pendamping Desa adalah ujian ketahanan, strategi, dan semangat pengabdian. Mereka bukan hanya harus bertahan secara fisik, tetapi juga tetap menjaga semangat dalam mendampingi pembangunan di desa-desa. Dengan keseimbangan yang baik antara kerja, istirahat, dan ibadah, pendamping bisa tetap optimal menjalankan tugasnya tanpa kehilangan makna Ramadan yang sesungguhnya.

Dalam menghadapi Ramadan, pendamping juga perlu mengingat bahwa mereka bukanlah robot yang harus bekerja tanpa henti. Mengambil jeda sejenak untuk refleksi, memperkuat spiritualitas, dan menghabiskan waktu berkualitas dengan keluarga juga merupakan bagian penting dari perjalanan mereka selama bulan suci ini.

Dengan demikian, mereka tidak hanya bekerja untuk pembangunan desa, tetapi juga untuk pembangunan diri sendiri sebagai individu yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.

Dengan strategi yang tepat, kerja-kerja pendampingan selama Ramadan bisa tetap berjalan efektif tanpa mengorbankan kesehatan. Ramadan bukanlah penghalang, melainkan peluang memperkuat diri, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Dengan semangat pengabdian yang tak boleh padam, pendamping tetap menjadi garda terdepan dalam mengawal pembangunan desa, meski dalam kondisi yang lebih menantang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun