Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak yang Tak Terhapus Waktu

19 Februari 2025   12:55 Diperbarui: 19 Februari 2025   12:55 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jejak digital (sumber: edukasi.kompas.com)

Nak, dunia tempatmu tumbuh sangat berbeda dengan dunia yang dulu Ayah kenal. Dulu, pertemanan dibangun dari tatapan mata dan suara tawa yang terdengar langsung, bukan dari deretan pesan atau emoji yang diketik di layar. 

Dulu, kesalahan yang kami buat hanya menjadi pelajaran pribadi, bukan jejak yang abadi di dunia maya. Ayah ingin kau membaca kisah ini, agar kau tahu betapa pentingnya menjaga diri dalam ruang yang tak selalu terlihat nyata

Sebenarnya, pesan ini telah lama ingin Ayah sampaikan, tetapi baru sekarang Ayah menemukan cara yang ayah anggap tepat.

_____

Malam itu, Alda duduk di meja belajarnya dengan ponsel di tangan. Cahaya layar memantulkan bayangan di wajahnya yang serius. Ia sedang sibuk membalas pesan dari seseorang yang baru dikenalnya di media sosial.

Namanya Raka. Profilnya tampak meyakinkan—foto yang menarik, cara berbicara yang sopan, dan obrolannya selalu menyenangkan. Sudah seminggu mereka saling bertukar cerita, dan Alda merasa nyaman. Raka selalu tahu cara membuatnya tertawa dan merasa dihargai.

“Aku suka banget ngobrol sama kamu, Alda. Rasanya kita udah kenal lama,” tulis Raka.

Alda tersenyum. “Aku juga! Seneng ada yang bisa diajak cerita tentang apa aja.”

Tapi entah kenapa, malam itu ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia ingat ayahnya pernah berkata, “Jangan terlalu cepat percaya pada orang di internet. Tidak semua yang tampak baik benar-benar baik.”

Ia mengabaikan rasa ragu itu, hingga suatu malam Raka mengirim pesan yang membuatnya terdiam.

“Aku penasaran, Alda. Bisa nggak kamu kirim foto yang lebih pribadi? Biar aku merasa lebih dekat sama kamu.”

Alda membaca pesan itu berulang kali. Hatinya mulai diliputi kecemasan.

Ia teringat kejadian beberapa bulan lalu, ketika seorang teman sekolahnya, Nita, mengalami masalah besar karena hal serupa. Nita pernah mengirim foto pribadinya ke seseorang yang ia kira bisa dipercaya. Tapi belakangan, foto itu tersebar dan menjadi bahan perbincangan di sekolah.

Sejak itu, Nita berubah. Ia menjadi pendiam, lebih sering menghindari teman-temannya, dan akhirnya memilih pindah sekolah. Alda tidak ingin mengalami hal yang sama.

Dengan tangan gemetar, Alda mengetik balasan.

“Maaf, Raka. Aku nggak nyaman kalau harus kirim foto seperti itu.”

Beberapa detik kemudian, Raka membalas.

“Kenapa? Kamu nggak percaya sama aku?”

Alda menelan ludah. Ia sadar, jika seseorang benar-benar peduli padanya, orang itu tidak akan memaksanya melakukan sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

Dengan mantap, ia mengetik satu kalimat terakhir.

“Aku pikir kita sebaiknya berhenti di sini.”

Setelah menghapus kontak Raka, Alda menarik napas lega. Untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa berbahayanya jika terlalu mudah percaya pada orang yang hanya dikenal lewat layar.

Ketika ia berjalan ke ruang tamu, ayahnya menatapnya sambil tersenyum.

“Kamu baik-baik saja, Nak?”

Alda mengangguk. “Aku baru sadar, media sosial itu seperti jalan panjang yang penuh persimpangan. Kalau kita nggak hati-hati memilih arah, kita bisa tersesat.”

Ayahnya tersenyum bangga. “Dan yang terpenting, jejak yang kita tinggalkan bisa bertahan selamanya. Kamu baru saja membuat pilihan yang tepat.”

Alda tersenyum. Ia tahu, dunia maya bisa menjadi tempat yang menyenangkan, tapi juga penuh jebakan. Kini, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu berhati-hati dan tidak mudah percaya pada apa yang tampak sempurna di layar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun