Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cahaya di Lingkar Kabut (2)

13 Oktober 2024   08:21 Diperbarui: 13 Oktober 2024   19:02 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: https://www.bing.com/images/create/)

"Kami memutuskan untuk membatalkan relokasimu, Hendra," lanjut pejabat itu. "Bukan hanya itu, kami mempertimbangkan untuk mempromosikanmu sebagai PD sekaligus menggantikan Arman sebagai koordinator, mengingat kinerjamu yang ternyata sangat luar biasa."

Hendra terdiam. Ia tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Perjuangan panjang melawan ketidakadilan ini akhirnya berbuah manis. Namun, ia tahu, ini bukan hanya kemenangannya. Ini adalah kemenangan warga desa yang telah berdiri di sisinya, memperjuangkan apa yang benar.

Sementara itu, di sudut ruangan, Arman tampak lemas, menyadari bahwa rencananya untuk menyingkirkan Hendra telah gagal. Kini, ia tak lagi bisa menutupi ketidakmampuannya di balik posisi yang ia pegang.

-----

Hari itu, Hendra melangkah keluar dari sekretariat TA Kabupaten dengan perasaan lega. Matahari mulai terbenam di ufuk barat, tapi bagi Hendra, hari baru telah terbit. Bukan hari yang penuh ambisi atau jabatan, tetapi hari di mana keadilan kembali berpihak pada yang benar.

Dengan senyum penuh syukur, Hendra memandang ke langit. Ia tahu perjalanan ini masih panjang, tapi selama ia bekerja dengan hati, tak ada ketidakadilan yang bisa bertahan lama.

Beberapa bulan setelah Hendra mendapatkan promosi sebagai Koordinator Kecamatan, kabar menggemparkan datang dari desa sebelah. Arman, yang telah berusaha keras menyingkirkan Hendra, tertangkap tangan melakukan tindakan korupsi. Berita itu menyebar cepat, menggemparkan seluruh kecamatan dan wilayah sekitarnya.

Arman diduga bekerja sama dengan beberapa oknum sekretaris desa dan perangkat desa menggelembungkan anggaran pelatihan di beberapa desa. Laporan yang diajukan oleh warga menyebutkan bahwa biaya pelatihan yang seharusnya hanya membutuhkan sebagian kecil dari anggaran, justru diambil lebih dari separuhnya untuk kepentingan pribadi. Arman bersama rekan-rekannya diduga menyimpan uang tersebut untuk membiayai kehidupan mereka yang serba mewah di balik tugasnya sebagai pelayan masyarakat desa.

Ketika aparat datang untuk menyelidiki, mereka menemukan bukti kuat: kwitansi palsu, laporan keuangan fiktif, dan transfer dana yang mengarah langsung ke rekening Arman dan para sekongkolnya. Tak butuh waktu lama, Arman pun ditangkap, dan kasusnya menjadi buah bibir di seluruh kecamatan.

Hendra mendengar kabar itu saat sedang memimpin rapat di salah satu desa dampingannya. Tak ada perasaan puas atau dendam dalam dirinya. Hatinya tetap tenang, seperti air yang jernih mengalir di sungai. Hendra selalu percaya bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi, dan meski ia sering menjadi korban kebencian dan fitnah, kebenaran selalu menemukan jalannya.

Namun, dunia tidak selalu berjalan sesuai harapan orang yang berbuat benar. Setelah ditahan selama beberapa minggu, Arman secara mengejutkan dibebaskan. Banyak orang yang terkejut---dan geram---mendengar kabar itu. Rumor beredar bahwa Arman memiliki koneksi kuat di pemerintahan daerah, seseorang yang dengan mudahnya bisa memutarbalikkan hukum demi melindungi kepentingannya.

Hendra tahu, kebenaran yang ia harapkan sering kali tersandung pada jaring-jaring kekuasaan yang korup. Arman, yang seharusnya dipecat dan diseret ke pengadilan, kembali bekerja dengan wajah dingin dan mata penuh amarah. Pemecatannya dibatalkan. Bahkan, kabar pembebasannya tampak seperti sebuah perayaan kecil di kalangan oknum yang selama ini mendukungnya secara diam-diam.

Sejak Arman kembali ke jabatannya, suasana di sekretariat kecamatan menjadi semakin tegang. Kebencian Arman terhadap Hendra semakin mendalam. Setiap kali mereka bertemu dalam rapat atau pertemuan, tatapan Arman menyiratkan kebencian yang tak terkatakan, seolah-olah dia menaruh segala kesalahan dan kegagalannya pada Hendra. Meski tak ada kata yang terucap, Hendra bisa merasakan bahwa Arman sedang merencanakan sesuatu---sesuatu yang mungkin lebih buruk daripada sebelumnya.

"Jangan pernah berpikir kau akan aman," gumam Arman dalam hatinya suatu malam, saat dia duduk sendirian di sekretariatnya. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang dingin, matanya menatap kosong ke luar jendela. "Aku akan memastikan kau jatuh, Hendra. Sekali lagi, tapi kali ini... kau tak akan bisa bangkit."

-----

Hendra semakin sering mendapat laporan-laporan palsu tentang kinerjanya. Setiap laporan yang masuk selalu diwarnai dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar---tentang kurangnya koordinasi, buruknya komunikasi, hingga dugaan bahwa Hendra tidak melibatkan masyarakat dalam berbagai kegiatan perencanaan pembangunan desa. Namun, Hendra tetap tenang. Ia sudah terbiasa dengan permainan licik seperti ini. Baginya, kebenaran tidak perlu dipertahankan dengan amarah. Tugasnya adalah terus bekerja dengan sepenuh hati, karena ia percaya masyarakat dan desa-desa yang ia dampingi lebih memahami siapa dia sesungguhnya.

Tapi, kali ini Arman tampak lebih cerdas. Dia tak hanya menggunakan laporan-laporan palsu, tetapi juga mulai merangkul beberapa orang di kecamatan untuk mempercayai narasi-narasi yang ia sebarkan. 

Satu per satu, rekan-rekan Hendra mulai ragu padanya. Beberapa di antaranya, yang dulu mendukungnya, mulai menjaga jarak. Arman tahu bahwa permainan ini adalah soal waktu, soal menguras energi Hendra sampai ia menyerah dengan sendirinya.

-----

Suatu sore, Hendra mendapat undangan untuk menghadiri sebuah pertemuan penting di kecamatan. Pertemuan itu disebut-sebut sebagai evaluasi besar terhadap semua pendamping desa di wilayah tersebut. Hendra hadir dengan tenang, meski ada firasat aneh yang menyelimuti pikirannya.

Ruang rapat penuh sesak dengan para pendamping desa, pegawai kecamatan, dan beberapa TA Kabupaten. Di ujung ruangan, duduk Arman dengan senyum yang tersirat di bibirnya, seolah-olah ia sedang menunggu momen yang telah ia rencanakan dengan matang.

"Baiklah, kita mulai," kata ketua rapat, seorang camat yang baru ditugaskan beberapa bulan terakhir. "Evaluasi kali ini sangat penting, terutama terkait beberapa laporan yang kami terima."

Hendra mendengarkan dengan tenang, sampai tiba saatnya namanya disebut. "Hendra, ada beberapa hal yang ingin kami bahas terkait kinerjamu," ucap pejabat itu sambil melirik Arman, yang kini duduk tegak penuh perhatian.

"Beberapa laporan menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam pengelolaan program di desa dampinganmu. Masyarakat mengeluh soal transparansi anggaran, kurangnya partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan, dan ketidakjelasan hasil dari beberapa kegiatan."

Hendra terkejut, tapi tetap tenang. Ia tahu tuduhan ini pasti hasil rekayasa Arman. "Pak, saya yakin laporan ini tidak benar. Saya selalu melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan program, bahkan dalam hal transparansi anggaran, kami selalu mengadakan musyawarah desa."

Sebelum pejabat itu sempat menjawab, Arman menyela dengan nada sinis. "Tapi nyatanya, Hendra, laporan itu sudah ada. Dan kita semua tahu, jika masyarakat mulai mengeluh, itu tandanya ada yang tidak beres."

---Bersambung

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun