Di sebuah ruang makan kecil, seorang ibu menyuapi anaknya yang sudah duduk di bangku SMA. Bukan karena sang anak cacat. Bukan pula karena ia malas. Tapi karena ibunya tahu, di luar sana dunia terlalu ramai, terlalu bising, terlalu kejam.
Cinta yang Dikunyah
Si anak boleh saja kuat secara fisik, tetapi jiwanya sedang berteduh. Dan suapan itu bukan hanya soal nasi. Itu tentang cinta yang dikunyah perlahan. Tentang harapan, agar sang anak yang sedang gelisah oleh dunia, tidak ikut terseret arus zaman yang kehilangan arah.
Inilah Gen-Z. Bukan generasi yang salah. Mereka hanya lahir di zaman yang salah urus. Mereka bukan generasi lemah, tapi generasi yang terlalu cepat dipaksa dewasa, terlalu cepat dinilai, terlalu cepat dituntut tanpa sempat dituntun.
Hari ini, kita melihat anak-anak muda yang matanya sibuk menatap layar, tapi jiwanya kehilangan panduan. Mereka lebih percaya influencer ketimbang guru, lebih percaya algoritma ketimbang orang tua.
 Salahkah Mereka?
Apakah itu salah mereka? Tidak sepenuhnya. Mungkin karena guru tak lagi mendengarkan sebelum mengajar. Dan orang tua, terlalu sibuk mencari nafkah hingga lupa menafkahi batin anak-anaknya.
Banyak dari Gen-Z hari ini dibesarkan oleh layar, bukan oleh pelukan. Mereka mengenal emosi dari emoji, belajar cinta dari drama Korea, dan memahami kehidupan dari komentar netizen. Maka jangan heran jika mereka lebih sensitif, lebih cepat gelisah, dan lebih mudah merasa kosong. Mereka bukan generasi yang rapuh, tapi generasi yang hidup di tengah dunia yang membingungkan.
Lalu kita, para orang tua dan pendidik, lebih sering menyalahkan ketimbang memahami. Kita bilang mereka tidak sopan, padahal kita tidak pernah menyediakan waktu mendengarkan isi hati mereka.