Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemarau

20 Mei 2018   12:38 Diperbarui: 20 Mei 2018   13:23 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Musim kemarau. Bongkah tanah terpecah pecah. Tak ada air untuk sekedar membiarkan umbi singkong merekah. Juga hawa dingin yang berjingkat kala matahari menyingsing digantikan oleh panas yang dibawa angin dari lautan. Tak ada yang mengira hidup di sini seperti apa, hampa.

Musim ini padi tak cukup menyenangkan, apalagi mengenyangkan. Serangan wereng batang coklat. Tak banyak yang mengerti ini adalah dampak mencekam dari penebangan liar kawasan hutan buatan di pinggir desa. Sepuluh bulan lalu dibabat, hampir habis. Memang hanya petinggi dan aparat desa yang terlibat langsung, tidak lebih dari karena kurangnya edukasi ekologi. Manusia lainnya mengais ranting, sekedar untuk menyalakan bara api di tungku rumah. Sudah cukup bagi mereka mendapat remah remah, tak ingin juga ikut ditangkap polisi jika kasus ini diusut.

Tidak akan menjadi masalah besar bagi warga yang tak menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Namun akan berbeda dengan mereka yang susah payah membangun dinasti dan pengharapan pada sekeping biji. Bulir bulir yang kabarnya bisa digantikan dengan uang. Akhirnya menjadi pil pahit, modal tidak kembali. Merugi tiada henti.

Angin musim kemarau terlampau panas di siang hari. Cerah memang, tak cocok untuk digunakan keluar rumah. Terpaksa, jika sapi sapi merengek minta rumput. Musim paceklik seperti ini tidak ada tempat bahkan untuk meminjam uang, semuanya serba mahal.

"Ibuk sih pasrah Ndhuk. Memang sawah dan rumah ini bukan milik Ibuk. Terserah Pakdhe Pakdhemu itu yang lebih berhak. Ibuk tak punya kuasa"

Kuseruput isi cangkir di depanku. Bukan kali ini saja aku mendengar bahwa ada kerabat yang minta warisan segera dibagi. Rumah ini, reyot. Namun memang bukan punya kami. Sekalipun telah delapan belas tahun lebih aku meninggalinya, meskipun dari lahir hingga kini Ibu juga tak pernah beranjak dari tempat ini.

"Amanahnya Buk?"

Ibu menggeleng, aku yakin lebih karena tidak tahu jawaban yang tepat.

Aku terpekur. Masih menjadi mahasiswa tingkat tiga aku tak punya cukup uang untuk menyarankan kami sekeluarga pindah. Aku masih punya eyang yang lain. Tapi bukan berarti menggampangkan kata 'pindah' yang tak pernah terpikirkan.

Dulu waktu eyang putri masih hidup, beliau bilang semua buat Ibu. Bukan tanpa alasan, tetapi karena Ibu lah satu satu nya yang mampu merawat eyang kakung dan eyang putri hingga ajal menjemput. Sementara kakak kakak Ibu yang lainnya telah lama meninggalkan rumah, mencari penghidupan di lain pulau. Lebih sejahtera, lebih kaya raya. Ibaratnya Ibu tak punya apa apa dibandingkan tempat yang kini kami tinggali.

Dan kini, semuanya diungkit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun