3) Risiko hilangnya kontrol pengelolaan oleh pihak pemerintah.
4) Pihak swasta relatif berbiaya tinggi dalam pembiayaan.
5) Relatif tidak mampu memenuhi transfer risiko absolute.
6) Mensyaratkan kapasitas dan keahlian tertentu dari pemerintah yang barangkali sulit terpenuhi.
7) Berpotensi mendapat respon negatif dari publik (pemerintah) terkait keuntungan dan control.
Adanya hal itu pemerintah tidak tinggal diam, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk menarik perhatian pihak swasta supaya ikut serta dalam kegiatan PPP.Â
Upaya yang dilakukan pemerintah diantaranya yaitu, memberikan insentif fiskal seperti: penyediaan skema Land Fund 1, pembiayaan infranstruktur melalui pendirian PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dan PT. Indonesia Infrastructure Finance (PT IIF) di tahun 2010, dan skema dana penjaminan melalui pendirian PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) di tahun 2009 (Brodjonegoro, 2011:2-4).Â
Pemerintah juga membentuk Nota Kesepahaman Kerja sama antar Kementerian, menerbitkan payung hukum (Perpres No. 57/2005 direvisi menjadi Perpres No. 13/2010) dan menyusun PPP Book 2 sebagai bentuk promosi proyek proyek infrastruktur yang dalam didanai melalui PPP. Namun, usaha yang dilakukan pemerintah masih belum meningkatkan ketertarikan pihak swasta dalam bekerja sama melakukan proyek infrastruktur.
Dalam rangka memastikan PPP mampu berjalan secara efisien dan efektif, khususnya menarik minat swasta dalam berpartisipasi, program PPP harus diikuti dengan kerangka kebijakan (policy framework) yang melingkupinya.Â
Untuk itu, pemerintah harus mengkaji ulang mengenai kebijakan-kebijakan yang ada supaya pembangunan di Indonesia khususnya pembangunan infrastruktur dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien. Pembangunan infrastruktur yang baik, efektif, dan efisien akan mempercepat pertumbuhan dan perkembangan negeri ini.