Aku duduk bersila, memejamkan mata, mencoba menyatukan pikiran dan hati. Di sekelilingku, suara-suara dzikir dan doa saling bersahutan, menciptakan simfoni spiritual yang menenangkan. Aku teringat semua dosa yang pernah kulakukan, semua khilaf yang tak disengaja maupun disengaja. Rasa penyesalan menyeruak, namun diiringi juga dengan harapan akan ampunan-Nya yang Maha Luas. Ini adalah momen untuk benar-benar melepaskan segala beban dunia, menyatukan diri dengan jutaan hamba Allah lainnya, berdiri di padang yang sama, di waktu yang sama, dengan satu tujuan: memohon rahmat dan ampunan.
Di Arafah, meskipun tenda pria dan wanita disatukan dalam rombongan, tentu ada batas-batas tertentu yang dijaga, memberikan privasi namun tetap dalam satu kesatuan. Kami akan menghabiskan satu malam di tenda ini, sebuah malam yang penuh dengan perenungan dan munajat. Malam itu, di bawah langit Arafah yang bertabur bintang, aku merasakan kedamaian yang tak terhingga. Keesokan harinya, setelah salat Zuhur, akan ada khotbah Arafah yang menjadi puncak dari wukuf. Momen inilah saat kami bersimpuh, mencurahkan segala isi hati kepada-Nya, di tempat yang dipercaya sebagai miniatur padang mahsyar. Setiap doa yang terucap terasa begitu dekat, begitu didengar. Allahu Akbar...
Malam di Muzdalifah, Antara Haru dan Kekuatan Iman
Setelah Maghrib, dengan hati yang masih dipenuhi haru dan harapan dari wukuf di Arafah, kami bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Destinasi berikutnya adalah Muzdalifah. Lagi-lagi, kami bergabung dalam antrean panjang untuk naik bus yang sudah disediakan. Antrean terlihat tak berujung, kami berusaha untuk tetap  tertib dan penuh kesabaran. Meskipun ada sedikit dorong-dorongan karena saking banyaknya jamaah, untaian doa terus terucap dari bibir-bibir jemaah.
Kami saling menyemangati, memberikan senyum dan tegur sapa. Rasa persaudaraan di antara jemaah haji sungguh luar biasa. Di tengah keramaian, kami saling membantu, berbagi air minum, bahkan sekadar menawarkan tempat duduk jika ada yang terlihat lelah. Kami yakin, selama kita menjaga ketertiban dan bersabar, insyaallah tidak akan terjadi apa-apa. Setiap langkah adalah bagian dari ibadah, dan kesabaran adalah kuncinya. Perjalanan ini mengajarkan kami bahwa di tengah jutaan manusia, setiap individu memiliki peran penting untuk menjaga harmoni dan kelancaran ibadah ini. Langkah demi langkah, kami bergerak maju, menuju tahapan selanjutnya dalam rangkaian ibadah haji yang agung ini.
Akhirnya, kami tiba di Muzdalifah. Malam sudah larut, namun tempat ini dipenuhi gemuruh aktivitas. Tugas utama di sini adalah mengambil batu kerikil untuk melontar jumrah. Aku mulai mencari-cari batu di sekitarku, memilih yang ukurannya pas, tak terlalu besar pun tak terlalu kecil. Setiap butir batu yang kuambil, seolah menjadi simbol tekadku untuk melempar jauh segala sifat buruk dan godaan syaitan. Aku menghitungnya dengan cermat, memastikan jumlahnya cukup untuk tujuh kali lemparan di Jamarat nanti.
Namun, di tengah kesibukan itu, sebersit kesedihan tiba-tiba menyergap. Suamiku tidak berada di sini bersamaku. Dia ikut dalam rombongan jemaah lansia yang melakukan murur (melintas) di Muzdalifah, tanpa harus bermalam. Aku tahu itu adalah bagian dari fasilitas untuk memudahkan jemaah yang lebih tua, tapi rasanya tetap berbeda. Masyaallah... Entah kenapa, kesedihan luar biasa ini menyelimuti. Biasanya, dalam setiap momen penting, dia selalu ada di sisiku. Sekarang, aku sendirian di tengah lautan manusia. Air mataku kembali tumpah.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ya, di balik semua ini, aku yakin ada hikmah yang bisa aku petik. Ini adalah ujian keikhlasan, ujian kemandirian, dan ujian keyakinan kepada Allah. Aku pasrahkan segalanya kepada-Nya. Aku yakin, Allah pasti akan melindungiku, Allah akan menyelamatkanku. Di tengah kegelapan malam Muzdalifah, di bawah taburan bintang yang tak terhitung, aku mengangkat kedua tanganku, memohon kekuatan dan perlindungan. Aku juga mengambilkan batu kerikil untuk suamiku, membayangkan dia juga akan melontar jumrah esok hari. Rasanya, dengan memegang batu itu, aku seperti terhubung dengannya, meskipun raga kami terpisah.
Kejadian ini, memberikan hikmah bagi kami, untuk tidak akan pernah terpisah lagi. Kemana-mana harus selalu didampingi. Sejak kejadian ini, suamiku menjadi lebih perhatian dan penuh tanggung jawab.Ini membuat aku semakin mencintainya. Ehem...