Mohon tunggu...
Imanuel Risto Masela
Imanuel Risto Masela Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Dari Timur Untuk Indonesia

Menulis adalah sahabat terbaik dalam hidup saya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tidak Ada Tempat untuk Menghidupkan Kembali GBHN pada Amandemen Konstitusi

12 Desember 2019   03:15 Diperbarui: 12 Desember 2019   03:17 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
CRISTO MASELA. DOKPRI

Pasca kejatuhan Orde Baru, sempat terjadi kevakuman pelaksanaan pembangunan karena adanya proses transisi politik tahun 1998-1999. Dalam GBHN yang ditetapkan oleh MPR tahun 1998, semestinya pada tahun itu Indonesia sudah memasuki Repelita VII. Namun krisis ekonomi yang menghantam Indonesia memudarkan semua impian rencana pembangunan Tap MPR No.II/MPR/1998 tentang GBHN yang merupakan produk era Orde Baru kemudian dicabut dan diganti dengan Tap MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Pokok reformasi pembangunan ini agak berbeda dengan kelaziman GBHN yang biasanya ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu panjang dan dibuat hanya untuk masa transisi yang dilaksanakan oleh Presiden Habibie. Dalam TAP MPR ini dijelaskan bahwa ketetapan ini hanya berlaku untuk kurun waktu sampai  terselenggaranya Sidang Umum MPR hasil pemilihan umum 1999.

Pada pemerintahan Presiden Habibie yang memerintah dalam waktu singkat lebih memfokuskan pada pemulihan ekonomi dengan mengimplementasikan paket kebijakan reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh IMF. 

Habibie mampu melakukan banyak hal dalam memperbaiki kondisi ekonomi moneter dengan melakukan berbagai kebijakan seperti merekapitulasi perbankan, merekonstruksi perekonomian Indonesia, dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar Namun berakhir tragis dengan ditolaknya laporan pertanggunjawaban presiden dalam sidang umum MPR RI tahun 1999. MPR RI hasil pemilu 1999 masih menghasilkan dokumen GBHN yang merupakan GBHN penghabisan dalam sejarah di republik ini melalui Tap MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 -- 2004. 

Meskipun sama-sama bernama GBHN muatan yang terkandung di dalam GBHN zaman Orde Baru dengan era reformasi mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pada zaman Order Baru GBHN merupakan haluan negara tentang pembangunan nasional, sementara GBHN era reformasi merupakan haluan penyelenggaraan negara. Istilah pembangunan nasional diganti dengan penyelenggaraan negara. Tujuan dari GBHN era reformasi ada penegasan mewujudkan masyarakat yang demokratis yang sebelumnya tidak ada. Perubahan yang dapat kita cermati disini bahwa selain merupakan arah bagi lembaga-lembaga tinggi negara dan segenap rakyat Indonesia. 

Implikasinya semua lembaga tinggi negara wajib melaksanakan GBHN dan memberikan pertanggungjawaban pada MPR. Sedangkan GBHN zaman Orde Baru pelaksanaannya ditentukan oleh Presiden sebagai mandataris MPR dan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atas tugas menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara pada akhir masa jabatannya. Landasan Pancasila dan UUD 1945 juga tidak dicantumkanlah secara eksplisit lagi seperti pada GBHN pada masa Orde Baru.

kurun waktu 1999-2002, MPR melakukan kerja bersejarah yaitu mengamandemen UUD 1945. Dalam amandemen yang ketiga tahun 2001, Pasal 3 "Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara" diubah menjadi Pasal 3 Ayat (1) yang menghapus kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, "Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar". 

Sejak saat itu konsep dan istilah GBHN tidak ada lagi dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Kalau mencermati perdebatan dalam sidang perubahan UUD oleh Badan Pekerja MPR penghapusan GBHN ini berkaitan dengan perubahan model pemilihan presdien dan wakil presiden yang tadinya oleh MPR dirubah melalui pemilihan langsung oleh rakyat. 

Dengan dipilih langsung oleh rakyat maka menjadi wewenang Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk menentukan rencana pembangunan. Sehingga tidak diperlukan adanya arahan dari MPR RI, tidak diperlukan adanya tolok ukur dari MPR, sehingga Presiden itu nanti tidak bisa lagi dijatuhkan karena perbedaan kebijakan, perbedaan pendapat dalam kebijakan antara MPR dengan Presiden. 

Sehingga yang bias menjatuhkan Presiden nanti adalah hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, pelanggaran Konstitusi. Tidak lagi kepada pelanggaran GBHN. Dengan sistem pemilihan langsung, GBHN adalah yang merupakan platform partai yang memenangkan Pemilu, yang ditentukan oleh platform calon Presiden yang memenangkan kursi Kepresidenan. Akibatnya Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR, akan tetapi langsung kepada para pemilih. Sehingga jika seorang Presiden tidak memenuhi kehendak rakyat maka ia tidak akan terpilih kembali, apabila ia mencalonkan untuk masa jabatan berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun