Mohon tunggu...
Imanuel Risto Masela
Imanuel Risto Masela Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Dari Timur Untuk Indonesia

Menulis adalah sahabat terbaik dalam hidup saya

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tidak Ada Tempat untuk Menghidupkan Kembali GBHN pada Amandemen Konstitusi

12 Desember 2019   03:15 Diperbarui: 12 Desember 2019   03:17 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
CRISTO MASELA. DOKPRI

                                                                                                                                      

Amandemen Konstitusi merupakan kewajiban Negara melalui organ yang diberikan kewenangan untuk merubah suatu konstitusi apabila konstitusi tersebut tidak sejalan dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Pada konteks Negara Republik Indonesia telah dilakukan beberapa kali Amandemen Konstitusi itu sendiri. 

UUD 1945 Pasal 37 menyebutkan bahwa Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. 

Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.   Proses pengambilan keputusan untuk merubah UUDNRI 1945 juga di atur dalam Konstitusi Pasal   37 ayat (4) bahwa Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Menyongsong perubahan konstitusi banyak sekali wacana yang membuat rasa kegelisahan para pemerhati hukum Indonesia terkhususnya para pakar hukum tata Negara dan berbagai praktisi hukum lainnya. 

Beberapa isu yang menjadi agenda perubahan konstitusi  teraktual saat ini adalah (1). Menghidupkan Kembali GBHN, (2). Menambahkan masa jabatan Presiden, (3). Mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih Presiden dan, (4). memasukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam UUDNRI 945. Dalam penulisan ini saya mencoba untuk menganalisis salah satu point yang menjadi agenda perubahan UUDNRI  1945  yaitu menghidupkan kembali GBHN. 

Pertanyaan yang fundamental adalah apakah sejauh ini negara sangat urgen dan membutuhkan pemanduh arah dan kebijakan dalam pembagunan atau yang disebut GBHN. Ataukah GBHN adalah sampul dari sejumlah kepentingan partai besar yang terbalut dalam wacana pentingnya dihadirkan GBHN sebagai pedoman pembangunan bangsa.

Hal yang paling penting adalah menganalisis secara kritis bahwa Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang menandai era demokrasi terpimpin. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden dibentuklah Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang diketuai oleh Mr. Muhammad Yamin. 

Tugas dari dewan ini adalah menyusun rencana pembangunan nasional. Melalui Penetapan Presiden No 12 tahun 1963 (Penpres 12/1963), Depernas dirubah menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada era ini, hampir semua kebijakan pembangunan negara merujuk pada pandangan politik Soekarno. Pandangan sukarno mengenai arah dan tujuan pembangunan bangsa sering disampaikan pada saat memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia.

Dokumen GBHN sendiri pertama kali ditetapkan oleh Presiden Soekarno melalui Perpres No. 1 Tahun 1960 tentang Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara. 

Dalam Pasal 1 Perpres tersebut dinyatakan bahwa "Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk, maka Manifesto Politik Republik Indonesia yang diucapkan pada tanggal 17 Agustus 1959 oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang adalah garis-garis besar daripada haluan negara". Salah satu pertimbangan ditetapkannya GBHN ini adalah perlunya arah tujuan dan pedoman tertentu dan jelas. 

Perpres ini kemudian diperkuat lagi melalui Tap MPRS No. I/MPRS/1960 tanggal 19 November 1960 tentang "Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara". 

Dalam ketetapan ini dijelaskan bahwa Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama "Jalannya Revolusi Kita" dan Pidato Presiden tanggal 30 September 1960 dimuka Sidang Umum PBB yang berjudul "To Build the World a New" (Membangun Dunia kembali) adalah pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia. 

Sebagai rincian dari ketetapan ini kemudian Dewan Perancang Nasional (Depernas) membuat Rancangan Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun 1961 -- 1969. Rancangan ini kemudian diterima dan ditetapkan oleh MPRS sebagai Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 melalui Tap MPRS No.II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960.

Dokumen GBHN yang terakhir dihasilkan pada era demokrasi terpimpin ditetapkan melalui Ketetapan MPRS No. IV/MPRS/1963 tentang Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. GBHN ini juga mengacu pada Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1961 berjudul "Resopim" (Revolusi -- Sosialisme Indonesia -- Pimpinan Nasional) dan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1962 berjudul "Tahun Kemenangan" yang dijadikan sebagai pedomanpedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik Indonesia.

Membaca dan menganalisis maksut sukarno yang tersirat dalam dokumen rencana pembangunan nasional di atas, kita akan menemukan banyak pandangan politik Soekarno dan dipengaruhi kondisi politik zaman itu serta situasi politik dunia yang berkembang pada masa itu. 

Misalnya saja dalam rencana pembangunan semesta untuk bidang kesejahteraan dilakukan salah satunya dengan "membangunkan usahausaha khusus untuk meninggikan tingkat hidup kaum buruh, tani, nelayan dan kaum pekerja pada umumnya dengan menghapuskan beban-beban sebagai peninggalan dari hubungan kerja colonial dan feodal serta memberantas pengangguran". 

Dalam bidang pemerintahan dan keamanan/ pertahanan juga sangat tegas dinyatakan, "land reform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip, bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan alat penghisapan".

Setelah Kejatuhan  dimulainya era baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang  dikenal dengan era Orde Baru. Soeharto  dibantu oleh para ekonom mulai menyusun berbagai strategi rencana pembangunan untuk memulihkan kondisi ekonomi yang sudah limbung. Soeharto mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet No 15/ EK/IN/1967 yang menugaskan Bappenas untuk membuat rencana pemulihan ekonomi.

Bappenas kemudian menghasilkan dokumen yang dinamakan Rencana Pembangunan Lima Tahun I (Repelita I), untuk kurun waktu tahun 1969 sampai dengan tahun 1973. Era Repelita telah berlangsung sampai dengan Repelita ke VI yang berakhir pada tahun 1998. Proses perencanaan pada era Repelita selalu didasarkan kepada GBHN yang dihasilkan oleh MPR yang bersidang lima tahun sekali. tahun 1969--1998 bangsa Indonesia berhasil menyusun rencana pembangunan nasional secara sistematis melalui tahapan lima tahunan. 

Pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan negara untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Sejak 1 April 1969 hingga 21 Mei 1998, tidak kurang dari enam Tap MPR tentang GBHN. Enam Tap MPR tersebut, yaitu: (i) Tap MPR No. IV/MPR/1973; (ii) Tap MPR No. II/MPR/ 1978; (iii) Tap MPR No. IV/ MPR/1983; (iv) Tap MPR No. II/MPR/1988; (v) Tap MPR No. II/MPR/1993; dan terakhir (vi) Tap MPR No. II/MPR/1998. Untuk konteks pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota), dokumen GBHN ini diterjemahkan ke dalam dokumen Pola Dasar Pembangunan Daerah.

Pasca kejatuhan Orde Baru, sempat terjadi kevakuman pelaksanaan pembangunan karena adanya proses transisi politik tahun 1998-1999. Dalam GBHN yang ditetapkan oleh MPR tahun 1998, semestinya pada tahun itu Indonesia sudah memasuki Repelita VII. Namun krisis ekonomi yang menghantam Indonesia memudarkan semua impian rencana pembangunan Tap MPR No.II/MPR/1998 tentang GBHN yang merupakan produk era Orde Baru kemudian dicabut dan diganti dengan Tap MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara. Pokok reformasi pembangunan ini agak berbeda dengan kelaziman GBHN yang biasanya ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu panjang dan dibuat hanya untuk masa transisi yang dilaksanakan oleh Presiden Habibie. Dalam TAP MPR ini dijelaskan bahwa ketetapan ini hanya berlaku untuk kurun waktu sampai  terselenggaranya Sidang Umum MPR hasil pemilihan umum 1999.

Pada pemerintahan Presiden Habibie yang memerintah dalam waktu singkat lebih memfokuskan pada pemulihan ekonomi dengan mengimplementasikan paket kebijakan reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh IMF. 

Habibie mampu melakukan banyak hal dalam memperbaiki kondisi ekonomi moneter dengan melakukan berbagai kebijakan seperti merekapitulasi perbankan, merekonstruksi perekonomian Indonesia, dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dollar Namun berakhir tragis dengan ditolaknya laporan pertanggunjawaban presiden dalam sidang umum MPR RI tahun 1999. MPR RI hasil pemilu 1999 masih menghasilkan dokumen GBHN yang merupakan GBHN penghabisan dalam sejarah di republik ini melalui Tap MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 -- 2004. 

Meskipun sama-sama bernama GBHN muatan yang terkandung di dalam GBHN zaman Orde Baru dengan era reformasi mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pada zaman Order Baru GBHN merupakan haluan negara tentang pembangunan nasional, sementara GBHN era reformasi merupakan haluan penyelenggaraan negara. Istilah pembangunan nasional diganti dengan penyelenggaraan negara. Tujuan dari GBHN era reformasi ada penegasan mewujudkan masyarakat yang demokratis yang sebelumnya tidak ada. Perubahan yang dapat kita cermati disini bahwa selain merupakan arah bagi lembaga-lembaga tinggi negara dan segenap rakyat Indonesia. 

Implikasinya semua lembaga tinggi negara wajib melaksanakan GBHN dan memberikan pertanggungjawaban pada MPR. Sedangkan GBHN zaman Orde Baru pelaksanaannya ditentukan oleh Presiden sebagai mandataris MPR dan wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atas tugas menjalankan Garis-garis Besar Haluan Negara pada akhir masa jabatannya. Landasan Pancasila dan UUD 1945 juga tidak dicantumkanlah secara eksplisit lagi seperti pada GBHN pada masa Orde Baru.

kurun waktu 1999-2002, MPR melakukan kerja bersejarah yaitu mengamandemen UUD 1945. Dalam amandemen yang ketiga tahun 2001, Pasal 3 "Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara" diubah menjadi Pasal 3 Ayat (1) yang menghapus kewenangan MPR untuk menetapkan GBHN, "Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar". 

Sejak saat itu konsep dan istilah GBHN tidak ada lagi dalam perencanaan pembangunan di Indonesia. Kalau mencermati perdebatan dalam sidang perubahan UUD oleh Badan Pekerja MPR penghapusan GBHN ini berkaitan dengan perubahan model pemilihan presdien dan wakil presiden yang tadinya oleh MPR dirubah melalui pemilihan langsung oleh rakyat. 

Dengan dipilih langsung oleh rakyat maka menjadi wewenang Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk menentukan rencana pembangunan. Sehingga tidak diperlukan adanya arahan dari MPR RI, tidak diperlukan adanya tolok ukur dari MPR, sehingga Presiden itu nanti tidak bisa lagi dijatuhkan karena perbedaan kebijakan, perbedaan pendapat dalam kebijakan antara MPR dengan Presiden. 

Sehingga yang bias menjatuhkan Presiden nanti adalah hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, pelanggaran Konstitusi. Tidak lagi kepada pelanggaran GBHN. Dengan sistem pemilihan langsung, GBHN adalah yang merupakan platform partai yang memenangkan Pemilu, yang ditentukan oleh platform calon Presiden yang memenangkan kursi Kepresidenan. Akibatnya Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR, akan tetapi langsung kepada para pemilih. Sehingga jika seorang Presiden tidak memenuhi kehendak rakyat maka ia tidak akan terpilih kembali, apabila ia mencalonkan untuk masa jabatan berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun