Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Dongeng: Negeri Para Maling

22 April 2016   22:18 Diperbarui: 22 April 2016   22:20 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Serbuan burung gagak"][/caption]Segeralah mendongeng padaku, Mak. Aku tak bisa tidur. Kata anakku, Wangsa.

Begitu sulitnya malam ini aku mendongeng. Rasanya, sudah kehabisan cerita, semua sudah aku dedahkan dari malam ke malam.

Ayolah, Mak. Segera. Desaknya.

Baiklah Wangsa, Emak akan ceritakan tentang negeri para maling. Kenapa? Kamu takut? Jangan takut, Wangsa. Ini hanya dongeng yang perlu kamu dengarkan, ambil pesan yang baik dan buang pesan yang buruk, agar kamu tidak berada dalam negeri seperti dalam dongeng ini.

Di suatu tempat nun disana, ada negeri yang dijuluki Negeri Maling. Sesungguhnya negeri ini kaya raya karena hasil buminya. Sawahnya luas dan subur. Ketika petani ingin menanam tanaman apa pun, akan tumbuh dengan segar, gemuk, dan memiliki hasil yang berlimpah . Petani dapat menanam padi kapan pun ia suka. Padi-padi akan menghampar hijau, kemudian berbuah, kemudian merunduk buahnya, kemudian menguning. Petani suka cita, berbahgia seluruh keluarga.

Sumber air bermunculan dimana-mana. Dan kabarnya, bahan tambang penuh sesak di dalam tanah yang mereka pijak. Ibaratnya kalau mereka ingin memakai mata cincin dari intan sebesar cincin akik yang diapakai Tesy, seluruh orang dapat memakainya. Tidak hanya satu, bisa berganti-ganti setiap hari, bisa disematkan diseluruh jari-jari yang ia miliki. Apa katamu? Jari kaki? Oh! Sangat bisa kalau mereka mau.

Negeri ini sangat makmur. Makmur sandang, makmur pangan, juga makmur papan. Rumah-rumah mereka besar, tetap kokoh berdiri bertahun-tahun, tak lekang berabad-abad. Barangkali akan tetap tegak sampai akhir zaman.

Tetapi, Wangsa. Kemakmuran itu tidaklah kekal adanya. Kemakmuran yang berlebihan itu, justru memperlemah mereka. Karena sangking makmurnya, mereka lupa membangun pertahanan hidup untuk mengantisipasi serangan-serangan yang tidak mereka pikirkan.

Suatu saat, negeri makmur ini diserang oleh kawanan Gagak Hitam. Pasukan bengis ini menyerang dengan pasukan yang begitu banyak. Mereka bergerak tidak hanya dari kalangan mereka, tetapi diiringi pasukan lain dari negeri takhlukannya. Mereka menyerang penduduk di malam buta, ketika mereka sedang beristirahat. Bangunan-bangunan berhasil dihancurkan oleh kawanan Gagak Hitam itu. Penduduk kocar-kacir. Sebagian diantaranya tewas melawan pasukan keji itu, dan sebagian besar yang lain menjadi takhluk tunduk.

Serangan itu begitu kilat. Tidak membutuhkan waktu tahunan, bahkan bulanan. Begitu singkat. Negeri makmur ini takhluk. Para pimpinan menjadi tawanan dan dipaksa bikin perjanjian dengan makhluk asing itu.

Itulah masanya titik balik, Wangsa. Awalnya begitu sulit. Tetapi ketika ada seorang pimpinan negeri ini merampok padi hasil pertanian, pelan-pelan pencurian demi pencurian terjadi, perampokan demi perampokan berlangsung. Semula terdengar kabar seminggu sekali peristiwa pengambilan paksa hak warga itu, kemudian setiap hari ada, akhirnya hampir setiap jam, setiap waktu pengejaran-pengejaran berlangsung.

Wangsa, kamu harus mengerti, sebuah peristiwa itu bisa menimbulkan kebiasaan-kebiasaan karena dimaklumi, kebiasaan-kebiasaan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat untuk semua orang.

Negeri ini, yang kemudian terkenal seantero jagat raya menjadi Negeri Maling, akhirnya memiliki tata peraturan tentang permalingan. Isi aturanya tidak mengatur bahwa mencuri, merampok, menggarong, ngutil, itu merupakan perbuatan kriminal, seperti peraturan di negeri-negeri baik itu. Tidak begitu!

Karena peraturan, seluruh penghuni negeri ini harus mengikuti. Setiap orang harus menjadi pencuri. Karena mencuri itu kewajiban. Kalau tidak melakukan ada hukumannya. Tapi, orang boleh melakukan kegiatan lain, misalnya datang ke tempat ibadah, membantu orang lain, bekerja, dan kegiatan apapun yang biasa mereka lakukan.

Aturannya juga dipahami, bahwa hukum mencuri itu, lebih besar yang dicuri semakin baik. Mencuri sandal di tempat ibadah itu pekerjaan apalah, terlalu kecil, hanya akan jadi bahan cemooh dan bulan-bulanan. Maka berlomba-lombalah mereka mencuri yang besar.

Hukum mencuri yang juga harus mereka perhatikan adalah bagaimana mencuri itu tidak tertangkap. Seandainya pun tertangkap bagaimana dia bisa mempengaruhi banyak pihak agar tidak masuk penjara. Kalau mencuri kemudian tertangkap, kemudian masuk penjara, ini seburuk-buruk warga negeri. Bagaikan kena kutukan cacar yang menahun.

Bagi masyarakat umum, mencuri tidak tertangkap atau pun tertangkap tidak bisa dipenjarakan, akan mengundang decak yang berbeda, keduanya menorehkan kesan yang nilainya berbeda di benak tiap orang.

Wangsa, di negeri ini mencuri menjadi hal biasa dan terbuka. Pencuri yang cerita hasil pencurian sambil tertawa-tawa di tengah plesiran mereka menjadi kebanggaan.

Apa, Wangsa? Apakah ada warga yang tidak mau mencuri? Ada nak, cukup banyak. Tapi mereka tersakiti. Memilih membayar denda. Tersakiti batinnya.

Dimana negeri itu, Mak? Tanya Wangsa sambil menguap.

Disana nak, nun jauh disana. Kamu jangan pernah kesana, sekalipun dalam mimpi. Selamat tidur nak.

 

Djoglo Pandanlandung Malang
April 2016
iman.suwongso@yahoo.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun