Mohon tunggu...
Iman Kristina Halawa
Iman Kristina Halawa Mohon Tunggu... Dosen Tetap di STT Arastamar Bengkulu

suka menulis artikel Jurnal, Vlog singkat, cerpen dll

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Dunia Hiburan ke Dunia Politik

24 September 2025   03:53 Diperbarui: 24 September 2025   03:53 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nepo Baby: Warisan Privilese yang Menghambat Perbaikan Demokrasi

Dari Dunia Hiburan ke Dunia Politik

Istilah "nepo baby" belakangan semakin sering terdengar. Di dunia hiburan, istilah ini melekat pada anak artis yang bisa menapaki karier dengan mudah karena nama besar orang tuanya. Sebagian orang menilainya wajar, tapi banyak juga yang merasa itu tidak adil bagi mereka yang berjuang dari nol.

Namun, ketika istilah ini merambah dunia politik, persoalannya menjadi jauh lebih serius. Dalam politik, nepo baby merujuk pada anak atau kerabat pejabat yang mendapat posisi strategis bukan karena kompetensi, melainkan karena hubungan keluarga. Fenomena ini adalah wajah lain dari nepotisme politik yang kian nyata di Indonesia.

"Ketika kursi publik diwariskan seperti harta keluarga, demokrasi kehilangan makna sejatinya."

Fenomena nepo baby dalam politik punya dampak serius. Pertama, ia menghancurkan meritokrasi: orang-orang berbakat dan berintegritas sering kalah sebelum bertarung. Kedua, ia mengikis kepercayaan publik: rakyat semakin sulit percaya bahwa pejabat bekerja demi kepentingan umum. Ketiga, ia memperlebar jurang kesenjangan sosial: politik menjadi panggung eksklusif segelintir keluarga elite.

Data di Indonesia menunjukkan, hampir 117 kepala daerah pada Pilkada 2020 memiliki hubungan keluarga dengan elite politik. Kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menegaskan bahwa daerah dengan dominasi dinasti politik lebih rentan korupsi dan rendah transparansi anggaran.

Fenomena ini bukan hanya milik Indonesia.

  • Di Filipina, sekitar 87% gubernur provinsi berasal dari keluarga politisi, dan 67% anggota DPR ditempati oleh dinasti politik. Bahkan di kota-kota besar, lebih dari 50% wali kota memiliki hubungan kekerabatan dengan elite.
  • Di India, laporan Association for Democratic Reforms (ADR) mencatat bahwa sekitar 21% anggota parlemen dan legislatif negara bagian adalah bagian dari keluarga politisi. Di partai-partai besar, angkanya bahkan lebih tinggi: sekitar 32% di Congress dan 17% di BJP.

Data ini memperlihatkan bahwa fenomena nepo baby adalah fenomena global. Demokrasi di berbagai belahan dunia menghadapi masalah serupa: kekuasaan yang diwariskan, bukan dipilih berdasarkan kapasitas.

"Ketika media berani mengungkap, dan masyarakat berani bersuara, politik dinasti tidak akan pernah merasa nyaman."

Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

  1. Media independen harus terus kritis. Jurnalisme investigatif penting untuk membongkar praktik nepotisme dan membuka ruang diskusi publik.
  2. Masyarakat sipil harus lebih berani bersuara. Media sosial dan gerakan kolektif bisa menjadi alat pengawasan horizontal yang menekan elite politik.
  3. Reformasi politik perlu ditegakkan. Partai politik harus bertransformasi dari sekadar mesin keluarga menjadi institusi yang mengedepankan meritokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun