Mohon tunggu...
Iman Haris
Iman Haris Mohon Tunggu... Tukang Ngopi

Nulis kalau lagi rajin, jadi jurnalis kalau lagi mood.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Premanisme Ormas: Antara Ketimpangan dan Relasi Kekuasaan

23 Maret 2025   17:00 Diperbarui: 24 Maret 2025   23:25 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Premanisme: Antara Ketimpangan dan Relasi Kekuasaan (Sumber: Pexels/Vasily Kleymenov)

Gejala premanisme yang belakangan menjadi sorotan adalah puncak gunung es dari masalah yang lebih dalam. Ketimpangan pembangunan, ekonomi yang tidak merata, serta hubungan simbiosis dengan kekuasaan menjadi faktor utama yang membuat premanisme tetap eksis.

Proses pembinaan terhadap preman ini sering kali diikuti dengan upaya legalisasi---mereka dilembagakan dalam bentuk ormas, OKP, atau LSM. Hal ini mengaburkan batas antara ormas yang benar-benar lahir dari inisiatif masyarakat untuk memperjuangkan aspirasi publik dan ormas yang justru dibentuk atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan tertentu.

Beberapa ormas yang sering dikaitkan dengan dunia premanisme seperti Pemuda Pancasila (PP), Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), atau Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) diketahui memiliki hubungan erat dengan lingkaran kekuasaan.

Hubungan ini tidak hanya terlihat dalam dukungan politik, tetapi juga dalam keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan yang beririsan dengan kepentingan pemerintah maupun partai politik tertentu.

Dalam beberapa kasus, ormas-ormas ini mendapatkan akses terhadap proyek-proyek strategis, pengamanan acara politik, atau bahkan digunakan sebagai alat mobilisasi massa untuk kepentingan tertentu.

Irjen (Purn) Anton Charliyan, eks Kapolda Jawa Barat, misalnya sempat menjabat sebagai dewan pembina GMBI sebelum akhirnya keluar (Tempo, 2017). Sementara itu, Hercules, pemimpin GRIB, diketahui memiliki kedekatan dengan Presiden Prabowo (Kompas, 2019).

Relasi ini menunjukkan bagaimana ormas-ormas yang berangkat dari kultur premanisme bertransformasi menjadi bagian dari politik arus utama. Dengan demikian, terang juga bagi kita, bahwa preman-isme bukan sekadar fenomena jalanan, melainkan bagian dari isme yang lebih luas, watak kekuasaan yang ramah dengan cara-cara kekerasan dan "isme preman".

Bagi Kang Endang, ini adalah konsekuensi dari pilihan-pilihannya di masa lalu, sebuah loyalitas ksatria dalam hidup yang dia pahami. Bagi para pemuda Cileungsi, berhimpun adalah cara mereka memperkuat daya tawar di hadapan para pemilik modal. Bagi sebagian lainnya, dunia ini menawarkan pengakuan atas eksistensi yang mungkin sulit mereka dapatkan dengan cara yang lain.

Lalu, jika premanisme hari ini dianggap sebagai masalah, salah siapa? Apakah mereka yang bertahan hidup dalam sistem yang tidak memberi mereka banyak pilihan? Apakah negara yang secara tidak langsung memelihara mereka dalam relasi kuasa? Ataukah kita semua, yang membiarkan ketimpangan dan ketidakadilan tetap berlangsung?

Mungkin, dalam cermin yang jernih, kita akan melihat bahwa premanisme bukan sekadar tentang individu atau kelompok, melainkan wajah dari masyarakat dan negara yang tengah kita bangun bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun