Pasangkayu, Sulawesi Barat --- Alih-alih mendapatkan kesejahteraan seperti yang dijanjikan, masyarakat di sekitar perkebunan sawit justru harus menanggung kehilangan yang besar. Tanah yang dulu mereka garap kini telah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit milik perusahaan. Pekerjaan sebagai petani pun hilang, dan mereka terpaksa beralih menjadi buruh di lahan yang dulunya milik mereka sendiri --- tanpa jaminan kepastian hidup.
Perusahaan sawit awalnya dipromosikan sebagai jalan menuju kemakmuran bagi desa-desa sekitar. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Banyak warga kini justru menghadapi keterbatasan ruang hidup dan hilangnya penghidupan mandiri.
"Perusahaan sawit ini menguasai wilayah secara masif dan mengabaikan keberadaan penduduk lokal. Seolah-olah mereka adalah raksasa yang terus menelan hutan demi ekspansi," ujar Iman Sadewa Rukka, penulis buku Hilangnya Hak Masyarakat Versus Korporasi Perkebunan Sawit di Sulawesi Barat, dalam diskusi publik di Rumah Inspirasi Jurnalis Advokasi Petani Center Sulawesi Barat, di Desa Ako, Kabupaten pasangkayu, Kamis (17/7/2025).
Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah aktivis, jurnalis, dan LSM pendamping masyarakat yang selama ini terlibat dalam advokasi agraria di wilayah Sulawesi Barat.
Iman Sadewa Rukka, jurnalis advokasi dan pegiat isu agraria, menjelaskan bahwa riset untuk buku tersebut dilakukan bersama sejumlah aktivis lingkungan dan hak asasi manusia sepanjang 2023 hingga 2025. Ia mengungkapkan bahwa sebagian besar area yang sebelumnya menjadi tempat hidup dan bercocok tanam warga, kini telah dibagi-bagi untuk dikelola oleh perusahaan sawit.
"Harapan tentang kesejahteraan dari sawit itu hanya tinggal janji. Warga hanya menjadi penonton dan buruh, tanpa ada pegangan masa depan," ucap Iman, yang juga merupakan Pemimpin Redaksi media lokal dan alumni Universitas Padjadjaran Bandung".
Ia menggambarkan industri sawit sebagai sistem besar yang bekerja layaknya mesin: menyerap lahan, tenaga kerja, dan modal di bawah kendali satu pihak. Dampaknya terasa tidak hanya di aspek ekonomi, tapi juga dalam relasi sosial dan kekuasaan antarwarga.
"Kondisi ini menyebabkan keterasingan sosial dan ketergantungan ekonomi yang tinggi terhadap korporasi," jelasnya.
Warga yang kehilangan tanah pun banyak yang harus pindah ke lokasi yang jauh dari sumber penghidupan, seperti ke bantaran sungai. Mereka kini hanya bisa mengenang masa lalu ketika bisa menanam padi, buah-buahan, atau karet di lahan milik sendiri --- lahan yang kini telah menjadi hamparan sawit.
Angela Iban, peneliti dari Pusat Riset Kewilayahan BRIN, juga membagikan pengalamannya dalam riset serupa di Kalimantan Barat. Ia menyebut, masyarakat yang dulunya hidup dari hasil kebun kini bergantung sepenuhnya pada perusahaan. Anak-anak pun kehilangan ruang bermain karena desa mereka dikelilingi oleh kebun sawit yang tertutup (kompas.id, 17/10/22).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!