Mohon tunggu...
Jurnalis Advokasi
Jurnalis Advokasi Mohon Tunggu... Jurnalis Advokasi menuju jurnalisme solusi : Pejuang agraria, lingkungan dan HAM

"Temukan benih kemuliaan itu, sejatinya ada dalam dirimu"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Sawit di Pasangkayu, Sulawesi Barat : Hilangnya Hak Masyarakat Lokal dalam Bayang-bayang Ekspansi Perusahaan

23 Juni 2025   17:35 Diperbarui: 23 Juni 2025   17:35 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hilangnya Hak Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Pasangkayu, Sulawesi Barat (foto Iman Sadewa Rukka)

Buku : Hilangnya Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Sulawesi Barat

Penulis: Iman Sadewa Rukka

Konflik tenurial yang melibatkan masyarakat lokal dan perusahaan kelapa sawit bukanlah fenomena baru dalam lanskap agraria Indonesia. Sejak dua dekade terakhir, konflik ini terus berulang dan kian kompleks. Di balik geliat industri sawit yang digadang-gadang sebagai tulang punggung ekonomi nasional, tersembunyi kisah pilu warga-warga desa yang kehilangan hak atas tanah, penghidupan, dan bahkan identitasnya sebagai bagian dari komunitas adat.

Sulawesi Barat, khususnya Kabupaten Pasangkayu, menjadi salah satu episentrum dari konflik-konflik ini. Wilayah yang dulunya merupakan kawasan hutan adat dan ruang hidup masyarakat kini berubah menjadi hamparan perkebunan sawit skala besar. Di sinilah hak-hak masyarakat diuji, relasi kuasa dipertarungkan, dan masa depan lingkungan dipertaruhkan.

Indonesia memang menempati posisi puncak sebagai produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Keberhasilan ini sebagian besar didorong oleh "ledakan sawit" (palmoil boom) sejak awal tahun 2000-an, bersamaan dengan era desentralisasi yang memberi kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah. Namun, otonomi itu kerap disalahgunakan oleh elite lokal untuk meraup keuntungan melalui penguasaan lahan, tidak jarang dengan praktik-praktik transaksional dan kompromi politik.

Di tengah hingar-bingar pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan, muncul kenyataan lain: masyarakat lokal yang selama bertahun-tahun bergantung pada tanah sebagai sumber kehidupan kini terpinggirkan. Tanah yang mereka klaim secara turun-temurun diubah menjadi konsesi perusahaan, sementara upaya perlawanan kerap dibungkam melalui pendekatan represif atau prosedur hukum yang timpang.

Buku ini, Hilangnya Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Sulawesi Barat, merupakan hasil investigasi mendalam yang ditulis oleh Iman Sadewa Rukka, seorang jurnalis advokasi sekaligus aktivis pejuang agraria dan hak asasi manusia. Melalui pendekatan jurnalisme investigatif dan pendampingan lapangan, penulis menyajikan potret konflik yang tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi menyusuri akar-akar strukturalnya.

Tidak seperti banyak tulisan lain yang hanya menggambarkan kronologi konflik dan rekomendasi teknokratis, buku ini menyoroti dinamika relasi kuasa, resistensi masyarakat, serta mekanisme sistemik yang memperkuat dominasi perusahaan. Dalam risetnya, penulis mengangkat empat studi kasus di Sulawesi Barat sebagai cerminan dari berbagai pola konflik yang serupa di wilayah lain di Indonesia.

Salah satu sorotan penting dalam buku ini adalah keberanian masyarakat adat dan petani dalam memperjuangkan hak mereka---dari pengaduan ke Gubernur Sulawesi Barat atas ancaman konversi hutan adat menjadi perkebunan sawit, hingga tudingan terhadap anak perusahaan raksasa sawit seperti Astra Agro Lestari yang diduga melakukan ekspansi melebihi batas HGU (Hak Guna Usaha).

Struktur buku ini terdiri dari empat bagian utama:

  1. Bagian Pertama -- Mengupas konteks historis dan kebijakan yang menjadi akar hilangnya hak-hak masyarakat, serta praktik-praktik perusahaan sawit di wilayah studi.

  2. Bagian Kedua -- Menelaah pemicu konflik, strategi perjuangan masyarakat lokal, serta peran LSM dan jaringan solidaritas sipil dalam mendampingi proses perlawanan.

  3. Bagian Ketiga -- Membahas pendekatan penyelesaian konflik, baik melalui mediasi, jalur litigasi, hingga upaya diplomasi melalui kebijakan global seperti RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).

  4. Bagian Keempat -- Menawarkan refleksi dan rekomendasi struktural untuk mendorong keadilan agraria yang berkelanjutan, dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek utama, bukan korban.

Tulisan ini bukan sekadar dokumentasi konflik, tetapi juga seruan moral bagi semua pihak: bahwa pembangunan yang sejati harus berpihak pada kehidupan, bukan sekadar angka-angka pertumbuhan. Bahwa keberlanjutan bukan hanya tentang sertifikasi internasional, tetapi tentang menjamin hak-hak dasar masyarakat atas tanah dan lingkungan hidup.

Sebagai pembuka dari rangkaian buku yang terus akan berlanjut, naskah ini diharapkan menjadi pengingat bahwa di balik setiap butir minyak sawit yang kita konsumsi, ada kehidupan yang mungkin dikorbankan. Dan tugas kita---sebagai warga negara, sebagai manusia---adalah memastikan bahwa suara mereka yang terpinggirkan tetap terdengar. Bersambung...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun