Memoar Seorang Jurnalis Agraria di Tengah Derita Tanah yang Dirampas
Malam itu, di sebuah sudut sunyi Mamuju Utara, saya duduk memandangi rembulan yang perlahan tenggelam di cakrawala. Warnanya kuning keemasan, seperti lukisan senja yang nyaris sempurna---seandainya saja di balik keindahan itu tidak tersembunyi luka yang begitu dalam.
Angin berhenti. Laut diam. Bahkan dedaunan pun tak bergerak. Ada kesunyian yang mencekam, seperti bumi sedang menahan napas. Sebagai jurnalis advokasi yang selama dua dekade terakhir mendampingi masyarakat di garis depan konflik agraria, saya tahu betul: ini bukan sekadar malam biasa. Ini adalah malam dari tanah yang terus menunggu keadilan.
Di Pasangkayu, tanah diperebutkan seperti warisan tak bertuan. Perusahaan-perusahaan besar datang dengan izin negara, menyerobot lahan yang selama puluhan tahun dikelola rakyat. Konflik meletus. Bukan hanya vertikal antara rakyat dan negara, tapi juga horizontal antarsesama warga yang diadu kepentingan.
Saya datang, mencatat, dan mendengarkan. Tapi jeritan mereka tak mudah terdengar di ruang-ruang kekuasaan yang kedap nurani. Maka saya menulis. Bukan untuk mencari sensasi. Tapi karena saya percaya, kadang satu paragraf bisa lebih tajam dari peluru. Kadang, satu bait bisa lebih menggugah daripada orasi panjang yang tak didengar.
Lewat tulisan ini saya berharap, ada yang tergugah. Terutama mereka yang memegang pena dan pedang kekuasaan: para pemimpin yang menentukan arah nasib bangsa, yang mengatur siapa boleh hidup di tanah ini dan siapa yang harus angkat kaki.
Tanah kami berubah warna: dari merah subur menjadi hitam terbakar. Wajah bumi kami pucat pasi. Hutan kami hilang, sungai-sungai kami kering, dan kampung kami perlahan kehilangan harapan. Semua karena satu kata yang berulang kali saya dengar dalam liputan: investasi.
Saya tahu, saya hanya seorang jurnalis dari pelosok Sulawesi Barat. Tapi saya percaya, suara sekecil apa pun punya kekuatan jika terus diucapkan. Maka saya terus menulis, bahkan saat ancaman datang, bahkan saat teman seperjuangan satu per satu dikriminalisasi.
Karena hanya lewat tulisan, saya bisa meneruskan jeritan hati rakyat yang terbungkam. Dan hanya kepada Tuhan kami berserah, ketika dunia memilih untuk menutup mata.