Sebuah kisah fiksi yang terinspirasi dari kenyataan
Damar tak pernah merencanakan hidupnya akan seperti ini: menyusuri jalan-jalan berlumpur di pedalaman Mamuju Utara - Pasangkayu, Sulawesi Barat menulis di bawah cahaya lampu petromaks, dan tidur di lantai rumah-rumah warga yang sedang dirampas tanahnya. Tapi di situlah hidupnya menemukan arti.
Ia datang pertama kali ke desa itu bukan sebagai pahlawan, melainkan sebagai jurnalis yang ingin tahu. Tapi apa yang dilihatnya---anak-anak yang berhenti sekolah karena tanah mereka dirampas, perempuan-perempuan yang menangis karena suaminya ditahan saat mempertahankan kebun, dan lelaki tua yang memilih mati di kebun karena tak sudi menyerah---mengubahnya.
Tanah-tanah itu telah dikuasai oleh perusahaan sawit skala besar. Sertifikat rakyat dianggap tidak sah. Mereka dituduh perambah, dianggap pengganggu pembangunan. Damar menuliskan semuanya dengan jernih, lengkap dengan dokumen, foto, dan wawancara. Tapi media tempatnya bekerja waktu itu enggan memuat. "Terlalu sensitif," kata redakturnya. "Iklan kita dari sana."
Maka Damar membuat pilihan yang kelak menjadikannya legenda di kalangan jurnalis advokasi: ia keluar dari media arus utama dan mendirikan kanal berita kecil berbasis warga. Ia melatih pemuda-pemuda desa untuk merekam peristiwa, menulis kronologi, bahkan mengirim rilis. Ia menjadikan jurnalisme sebagai alat perjuangan rakyat.
Dalam perjalanannya, Damar harus membayar mahal. Ia meninggalkan anak-anaknya di kota, tumbuh tanpa pelukan dan dongeng malam. Ia hanya bisa mendengar suara mereka lewat telepon, kadang seminggu sekali, kadang dua minggu tak ada sinyal.
"Ibu, ayah di mana? Kenapa nggak pulang?" tanya anak bungsunya suatu kali.
Damar diam cukup lama sebelum menjawab, "Ayah sedang bantu orang-orang yang tanahnya diambil. Supaya nanti kamu juga punya dunia yang adil."
Ancaman bukan hal baru. Beberapa kali ia diikuti preman bayaran. Motornya dirusak. Pernah satu malam, rumah warga tempatnya menginap dikepung orang tak dikenal. Tapi ia tak mundur. Justru ia makin teguh. Ia menjalin komunikasi dengan banyak pihak---LSM, jurnalis independen, bahkan sesekali mencoba berdialog dengan aparat.
Tapi ada satu hal yang tak pernah ia tukar: idealismenya.