Insight Menarik dari Ahmad Fuadi
Pekan lalu, saya melakukan zoom meeting dengan sang penulis Negeri Lima Menara, Ahmad Fuadi. Pada pertemuan virtual itu, kami membahas projek buku terbaru Uda Fuadi, begitu saya menyapanya, yang akan diproyeksikan terbit di kantor saya. Acara dimulai dengan saling melempar kabar, lalu dilanjut dengan diskusi rencana buku yang  akan ditulis. Diskusi hangat itu berlangsung kurang lebih satu jam setelah beberapa hal disepakati bersama.
Algoritma Instagram sepertinya mengendus pertemuan itu dan saat saya membuka Instagram selepas pulang kerja, ada postingan Ahmad Fuadi di tampilan teratas. Postingan itu menampilkan foto Ahmad Fuadi, Dewi Lestari, JS Khairen, dan Yovie Widianto. Para penulis yang sudah tak asing lagi namanya, terutama bagi para pecinta buku. Tapi bukan itu poin utamanya. Saya justru tertarik dengan caption yang dibuat oleh Uda Fuadi.
Pertemuan para penulis tadi sebenarnya punya tujuan untuk membicarakan isu-isu tentang dunia kepenulisan, nasib para penulis, dan langkah seperti apa yang seharusnya ditempuh. Di caption itu, Uda Fuadi mengutip pernyataan JS Khairen yang mengatakan bahwa profesi penulis terancam punah di Indonesia. Endagered Species.
Menurut Uda Fuadi, lama-lama penulis akan bernasib sama seperti harimau jawa atau burung dodo. Pamit selamanya dari muka bumi. Alasannya tentu saja karena semakin sedikit orang yang mau menjadi penulis penuh waktu gara-gara sulit untuk survive hanya dengan menulis. Profesi penulis juga kurang dihargai. Setiap ada satu buku asli terjual, 5 buku bajakan bisa terjual pula. Penjual mana peduli. Yang terpenting mereka menikmati cuan hasil berjualan buku bajakannya. Pembeli bisa jadi tidak tahu atau tidak mau tahu kalau buku yang dibelinya bajakan.
Tak hanya itu, lihat saja di lapak buku offline dan online. Pembajakan dianggap perbuatan yang normal-normal saja. Belum lagi maraknya peredaran buku pdf. Yang lebih menyedihkan adalah tidak adanya tindakan hukum dari negara. Pemerintah sibuk dengan hal lain sehingga tidak menganggap kekisruhan di dunia perbukuan sebagai sebuah masalah. Ironis memang.
Masih menurut Uda Fuadi, dia melanjutkan: ada lima rima kata yang ironis. Sudahlah dibajak, dipajak pula awak. Tentu saja sebagai warga negara yang baik, kita perlu untuk membayar pajak. Namun, presentasinya yang perlu ditinjau. Sejauh ini, ada mata rantai pajak panjang untuk produk buku. Mulai dari pajak kertas yang diimpor, pajak perusahaan penerbitan, pajak royalti, dan pajak individu. Akibatnya, harga buku menjadi mahal dan buku berubah menjadi layaknya barang mewah.
Orang yang tak mampu membeli buku asli akhirnya tergiur untuk membeli buku bajakan yang murah. Jika ada pihak yang paling dirugikan, dia adalah penulis. Sudahlah dibajak, dipajak pula. Lama-lama kalau hal semacam ini terus terjadi, akan semakin sedikit orang yang mau menulis. Semakin sedikit buku yang bermutu dan semakin sedikit pula pasokan vitamin otak untuk wawasan bangsa kita.
Ada satu kalimat sarkas yang menarik dari Uda Fuadi, "Mungkin naluri bangsa agraris kita terlalu kuat sehingga ketika sawah semakin sedikit, maka yang dibajak bukan lagi sawah, tapi buku."
Di akhir, ia dan para penulis di pertemuan itu berharap agar Mas Yovie, begitu sapaannya, agar bisa menyampaikan concern dan keresahan-keresahan para penulis kepada Presiden Prabowo Subianto yang gemar membeli dan membaca buku. Uda Fuadi juga menyampaikan dokumen dari Tere Liye dalam visi misi Prabowo hal 68, butir ke-35. Tertulis jelas janji-janji itu di sana. Semoga itu adalah janji yang bisa ditepati, bukan hanya untuk penulis dan dunia buku saja, tetapi untuk kesejahteraan intelektual anak bangsa agar bisa menimati buku yang berkualitas dan tidak mahal.
Buku & Kemewahan
Sebagai aktor yang ikut berkecimpung di dunia perbukuan, saya mengamini betul pernyataan Uda Fuadi bahwa buku mulai berubah menjadi barang mewah berharga mahal. Harga buku di Indonesia tidak bisa dibilang murah dengan membandingkan UMR rata-rata di banyak kota. Sebagai gambaran, harga novel, buku self improvement, bisnis, manajemen, dan berbagai genre qualified ada di rentang Rp. 70.000 sampai Rp. 150.000. Di sini, saya akan mengecualikan buku kumpulan quotes yang dicetak dengan kertas kualitas rendah berharga tak sampai Rp. 50.000.
Dengan rentang harga yang demikian itu, bisa dipastikan hanya kalangan menengah yang bisa menikmati, mau membeli, dan tak merasa terlalu terbebani untuk membeli buku. Mereka yang bahkan sehari hanya mendapatkan penghasilan tak lebih dari seratus ribu akan berpikir ratusan kali sebelum membeli buku. Alih-alih membeli buku, lebih penting mereka mengisi periuk nasi untuk hari ini. Kita tentu harus menyadari hal ini. Saat kebutuhan perut saja belum tercukupi, bagaimana akan memenuhi kebutuhan otak.
Masalah dunia perbukuan memang sudah rumit dari hulu ke hilir. Tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk ikut serta membantu tumbuhnya budaya literasi juga menjadi sebuah hal yang perlu digarisbawahi. Beberapa kali saya bertemu dengan perwakilan dari penerbit-penerbit yang ada di Malaysia. Berdasarkan penuturan mereka, pihak kerajaan ikut serta menyokong industri buku dan penyebarannya kepada masyarakat. Pemerintah ikut ambil bagian dan secara serius menangani berbagai masalah perbukuan. Tujuannya agar setiap orang bisa membeli buku dengan harga yang terjangkau.
Terus terang, saya sedih sekali. Bahkan dengan negara tetangga kita saja, tak hanya kesejahteraan saja yang tertinggal, keseriusan dalam menangani masalah literasi saja kita kalah. Saya tak paham, apakah selama ini pemerintah tidak serius menangani masalah perbukuan karena mereka basicly memang tidak suka membaca buku, atau polemik perbukuan tidak menguntungkan sehingga tak perlu diprioritaskan.
Suatu ketika ada pertanyaan dari seorang pembaca kepada saya, "Mengapa sulit untuk memberantas para pembajak buku yang merugikan?" Biar saya jelaskan alasannya dan keruwetan yang terjadi dari kacamata penerbit.
Untuk melontarkan gugatan atas pembajakan buku, penerbit harus mengajukan delik aduan. For your information, delik aduan ini harus memuat bukti bahwa penerbit memang dirugikan karena bukunya dibajak beserta siapa saja yang membajak dan serangkaian kelengkapan lainnya. Singkat kata, penerbit haru effort sendiri dan melakukan investigasi sendiri untuk membuktikan telah terjadi pembajakan buku. Sebuah alur yang tidak masuk akal dan berbelit. Betapa repotnya jika buku yang dibajak tidak hanya satu, tapi puluhan. Alih-alih menerbitkan buku baru setiap bulannya, penerbit justru malah akan kelimpungan mengurus delik aduan.
Buku yang Accessable
Sebagai sebuah bangsa yang besar, kita seharusnya tidak perlu merasa malu untuk belajar dan mengikuti hal-hal baik yang sudah dilakukan oleh bangsa di kanan kiri kita. Tak perlu malu untuk mencontoh apa yang sudah pemerintah Malaysia lakukan untuk mendukung dunia perbukuan. Dulu, Negeri Jiran dan Vietnam juga tidak malu untuk belajar kepada kita yang lebih dulu merdeka. Mereka belajar tentang sistem pertanian dan pengelolaan pangan. Selama hal itu baik, tak ada alasan bagi kita untuk menutup diri.
Jika pemerintah memang menginginkan buku sebagai sesuatu yang mudah diakses oleh semua kalangan, harus ada campur tangan dalam bentuk regulasi untuk menaunginya.
Dimulai dari pembebasan pajak untuk impor kertas dan pajak-pajak lain yang berkaitan dengan produksi buku, atau pemberian subsudi sehingga buku lebih mudah untuk dibeli dan dinikmati oleh semua kalangan. Mungkin harapan seperti ini masih jauh untuk terealisasi karena pemerintah masih sibuk dengan makan siang gratis. Tapi tidak apa-apa. Setidaknya ada rekaman tertulis melalui artikel ini bahwa ada harapan untuk kemajuan literasi Indonesia, khususnya dalam pengadaan buku-buku yang bermutu.
Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa buku memang bukan satu-satunya hal yang bisa mengubah sebuah peradaban bangsa, tapi dokumentasi tertulis dalam sebuah buku terbukti telah berhasil merekam ilmu pengetahuan dari generasi sebelumnya untuk diteruskan dan dikembangkan oleh generasi berikutnya. Peradaban manusia malakukan lompatan besarnya sejak mereka menemukan aksara dan bisa mendokumentasikan pengetahuan yang mereka dapatkan dalam lembaran-lembaran yang disatukan, yang di hari ini kita sebut sebagai buku. Mari kita pikirkan bersama-sama.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!