Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orde Rapopo dan Orde Baru di Gelimang KKN

1 Februari 2019   13:55 Diperbarui: 1 Februari 2019   14:34 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Wakil Sekretaris TKN Verry Surya Hendrawan mengharapkan tidak perlu ada kegaduhan di publik karena apa yang dilakukan Bobby bukan memanfaatkan statusnya untuk mendapat proyek tertentu, tapi hanya menjalankan tugasnya.

"Saya yakin Bobby pasti mengikuti semua prosedur yang berlaku. Ini kan kredit ringan saja, ini sesuatu yang orang bisa memperoleh atau mengakses hal tersebut selama capable," kata Verry kepada Tirto, Jumat (25/1/2019). 

*****

KKN atau singkatan dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tiga prilaku yang menjadikan aksi people power mampu merontokkan taring Pak Harto, rezim yang berkuasa selama tiga puluh tahun lebih untuk --menurut pendapat-- mengeruk kekayaan bagi dirinya dan kroni-kroninya. Korupsi yang sudah dibentuk badan adhoc semacam KPK meskipun kemudian terindikasi untuk menggebuk lawan-lawan politik rezim Ordo Rapopo.

Lalu kolusi, sebuah budaya atau prilaku yang menafikan prosedur-prosedur yang menjadi standardisasi guna menghindari adanya praktek-praktek yang berpotensi merugikan negara. Kolusi sering disebut dengan "praktek tahu sama tahu" dan "praktek pokoke beres".

Praktek-praktek inilah yang sebenarnya juga bisa lebih buruk dari sekedar korupsi. Kolusi kerap menghampiri sebuah proses bisnis yang melibatkan birokrasi dan swasta. Sementara nepotisme, adalah praktik dari budaya ewuh pekewuh yang kebablasan. Norma-norma baku seperti tender, lelang atau saringan kompetensi dan kelayakan biasanya diabaikan jika prilaku nepotisme sudah hinggap.

Nah pembaca, menyangkut dari paragraf pembuka di atas, Bobby yang juga menjabat Wakil Sekretaris Jendaral Real Estate Indonesia Bidang Perizinan dan CEO PT Wirasena Cipta Reswara yang bakal membangun ribuan rumah di Sukabumi. Kurang lebih kelak akan dibangun 1800-an unit rumah dengan kisaran harga 130 juta rupiah. Sebuah angka yang cukup besar bagi sebuah proyek yang digaungkan oleh Jokowi, mertua dari Bobby.

Slogan-slogan yang masih keras gaungnya betapa dahulu para pendukung Jokowi kerap 'mencaci-maki' anak keturunan Soeharto yang menjalankan bisnis-bisnis yang berinteraksi langsung dengan birokrator saat itu. Pendukung Jokowi menyatakan bahwa rezim ini tidak akan berlaku seperti Orde Baru. Namun faktanya, hanya dalam kurun empat tahun, Bobby telah 'merusak' susu se-belanga.

Apakah salah?

Tidak ada yang salah selama Bobby terbukti tidak kolutif dan menikmati perannya sebagai menantu orang nomor satu di Republik ini. Membayangkan direktur bank plat merah menolak pengajuan kredit untuk membangun ribuan rumah tersebut adalah sebuah angan-angan punguk merindukan bulan.

Setidaknya ada delapan izin yang harus dikantongi oleh Bobby sebelum ribuan unit itu dapat dibangun. Dan, silahkan berimajinasi seperti sikap para birokrat tersebut berlaku?

Jadi slogan-slogan pongah dari para pendukung Jokowi tentang 'bersihnya' rezim ini dari praktek-praktek KKN semestinya perlu dikritisi sedemikian rupa. Penulis sedang tidak menuduh menantu Jokowi ini terlibat dalam praktek koruptif, kolutif dan nepotisme. Paling tidak berhentilah membayangkan Orde Rapopo ini jauh berbeda dengan Orde Baru. Bagi penulis sih 11-12 lah, beti, beda-beda tipis.

Ada beberapa variabel yang bisa dipakai, pertama penggunaan aparat untuk 'membereskan' para musuh politik. Kedua adalah banyaknya para rakus di episentrum kekuasaan. Seseorang yang multitasking dan offside setiap saat. Ketiga adalah perlawanan rakyat semesta karena beda kata dengan realitas dari penguasa. Keempat adalah praktek KKN yang marak. Seperti apa?

Yang paling bisa disorot adalah naiknya beberapa vokalis, musuh bebuyutan penguasa sebelumnya sebagai Komisaris. Antara otak dan mulut lebih didahulukan mulut. Itulah indikator paling primitif yang bisa dipakai untuk menemukan adanya praktek nepotisme atau tidaknya.

Salam Anti KKN!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun